14

13.2K 1K 41
                                    

Siang ini di kamar rawat Kara hanya di temani Anka, karena Banu harus pergi ke kantor sedangkan Naira pulang ke rumah untuk mengambil berberapa keperluan Kara.

Anka bangkit dari duduknya lalu duduk di kursi samping ranjang Kara. "Kamu sering ketemu dokter Sarah?" tanya Anka yang masih penasaran dengan keakraban dokter Sarah dengan adiknya.

"Kenapa emangnya?" balas Kara mengalihkan perhatiannya pada Anka.

"Kamu kelihatan akrab sama dokter Sarah, pasti udah sering ketemu kan?"

"Gak, gue ketemu pertama kali setahun yang lalu. Sering ketemu baru kali ini karena gue di sini sebagai pasiennya" ucap Kara lalu kembali mengalihkan perhatiannya pada siaran televisi.

"Biasanya kalau orang udah akrab banget tuh sering ketemu" ujar Anka menyandarkan tubuhnya di kursi.

Kara hanya diam tak berniat untuk membalas ucapan Anka, dia tetap fokus pada tayangan tv yang ada di hadapannya.

Anka menghela napasnya lalu mengusap lengan adiknya dengan lembut. "Kalau kamu akrab sama teman-teman kamu aku gak akan nanya-nanya. Tapi kamu akrab sama dokter-"

"Ya emangnya kenapa kalau gue akarb sama dokter? Masalah buat lo? Gangguin hidup lo? Gak kan?" sela Kara menepis tangan Anka.

"Ya kalau kamu sering ketemu dokter berati ada sesuatu sama kamu, ada hal yang kamu sembunyikan dari aku. Dari Ibu sama Ayah juga" balas Anka menatap wajah adiknya yang terlihat begitu kesal.

"Gue gak pernah sembunyiin apa-apa-"

"Jangan bohong Kara, kalau kamu gak mau bilang kita semua gak akan ada yang tau. Jujur Kara" ujar Anka berharap adiknya mau berbagi masalahnya dengan dirinya.

"Gue heran sama lo, kenapa lo mendadak perduli sama gue dulu gak pernah. Kemana Anka yang dulu sibuk pergi sama teman-temannya?"

"Aku minta maaf" lirih Anka menundukkan kepalanya. Mengingat kembali perlakuannya pada saudara kembarnya.

Dulu dia sama sekali tidak mau ketika Kara ingin ikut bermain dengannya dan juga teman-temannya, alasannya karena malu Kara masih suka buang air kecil di celana padahal waktu itu Kara sudah berusia sepuluh tahun.

Karena alasan itulah Anka lebih memilih untuk menjauhi adiknya, meskipun Kara sering kali menangi ketika dirinya menolaknya ikut bermain.

"Untung kita gak mirip, jadi gak ada yang percaya kalau gue itu saudara kembar lo. Coba kalau kita mirip, lo pasti tambah malu karena banyak orang yang akan ngatain lo" ucap Kara menyadarkan lamunan Anka.

"Lo gak perlu minta maaf, lo gak salah apa yang lo lakuin udah bener kok. Asal lo tau aja, sampai sekarang juga gue masih suka gak kerasa kalau kencing di kasur. Makanya gue sering kena hukum sama Ayah karena emang aku salah" sambungnya lagi.

Anka hanya diam, dia bingung bagaimana menanggapi ucapan adiknya. Karena ia sendiri tidak tau apapun tentang saudara kembarnya.

Ceklek

Suara pintu di buka dari luar, mengalihkan perhatian mereka berdua. "Lagi pada ngobrolin apa? Serius banget" tanya Naira berjalan mendekati ranjang anaknya.

"Udah makan siang?"

"Kara gak mau makan buburnya Bu, katanya gak ada rasanya" jawab Anka menunjuk mangkuk bubur yang ada di atas meja.

"Nanti Ibu yang urus Kara, kamu sana ke kantin makan siang habis itu pulang istirahat" ucap Naira mengusap rambut Anka.

"Aku masih mau di sini Bu" balas Anka bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju sofa yang ada di sana.

Naira mendudukkan dirinya di kursi lalu mengambil mangkuk bubur yang ada di atas meja. "Ibu suapin ya?" tawar Naira tersenyum lembut pada anak bungsunya.

"Aku belum lapar Bu, nanti kalau aku udah lapar aku makan sendiri" tolak Kara menjauhkan tangan Naira yang menyodorkan sendok berisi bubur pada dirinya.

"Kalau gak habis gak pa-pa, yang penting makan biar bisa minum obat. Katanya mau cepat pulang"

"Setengah jam lagi Bu" ucap Kara lalu memejamkan matanya.

"Jangan tidur dulu, makan dulu sebentar" ucap Naira menepuk pelan pipi Kara. "Kara" panggilnya dengan lembut tapi tak mendapatkan respon dari anaknya.

"Kara, kamu dengar Ibu kan?" panik Naira yang tak kunjung mendapatkan respon dari anaknya.

"Kenapa Bu?" tanya Anka mendekati ranjang adiknya.

"Panggil dokter sekarang" titah Naira masih berusaha membangunkan Kara yang tak kunjung membuka matanya.

Anka segera keluar untuk memanggil dokter, tak berselang lama dokter datang dan meminta mereka untuk menunggu di luar agar tim medis lebih mudah memeriksa pasien.

.................

Di kantor Banu sedang meeting dengan rekan bisnisnya, namun dia tidak menyimak sedikit pun tentang apa yang sedang di jelaskan pada rekan bisnisnya.

Yang ada di dalam pikiran Banu hanyalah anak bungsunya, jika sesuai jadwal makan hari ini hasil pemeriksaannya akan keluar hari ini.  Dan dirinya harus mempersiapkan diri untuk mendengar semua hal yang akan dokter jelaskan.

"Pak, apa penjelasan saya tentang proyek yang akan kita bangun sudah jelas?" tanya pria yang baru saja selesai menjelaskan tentang rancangan sebuah gedung.

"Biasa jelaskan sekali lagi, aku tidak mendengar apa yang kamu jelaskan" ucap Banu tanpa mengalihkan perhatiannya, dia hanya menatap layar laptopnya yang menunjukkan foto anak kecil dan itu adalah Kara.

"Pak, ini sudah ke empat kalinya anda meminta di jelaskan ulang. Apa anda baik-baik saja?" bisik asisten Banu.

"Kalau begitu kita sudahi meeting nya sampai di sini" ucap Banu bangkit dari duduknya lalu pergi meninggalkan ruang meeting begitu saja.

Banu masuk ke dalam mobil lalu menancapkan gasnya menuju ke rumah sakit. "Apa yang sebenarnya terjadi?" gumam Banu menambahkan kecepatan mobilnya.

Tadi dia mendapatkan pesan dari Naira untuk segera datang ke rumah sakit, karena Kara yang tiba-tiba saja tidak sadarkan diri.

Tin tin tin tin

Sepanjang perjalanannya menuju ke rumah sakit Banu terus membunyikan klaksonnya agar pengendara lain memberikan jalan untuk dirinya.

Setelah perjalanan yang cukup panjang akhirnya Banu sampai di rumah sakit, Banu segera turun dari mobil lalu bergegas masuk ke dalam rumah sakit.

Banu berjalan menghampiri Naira lalu memeluk istrinya yang terlihat begitu kacau. "Apa yang terjadi?" tanyanya tanpa melepaskan pelukannya.

"Aku gak tau, Kara gak bilang apa-apa tadi" jawab Naira dengan berurai air mata.

Banu beralih menatap Anka yang duduk di lantai dengan pandangan menatap kosong. "Anka" panggil Banu melepaskan pelukannya pada Naira lalu mendekati anaknya.

"Yah, aku gak mau Kara pergi. Aku minta maaf dulu aku cuma gak mau main sama dia, aku gak minta Kara pergi" ucapnya dengan air mata yang mengalir membasahi kedua pipinya.

"Kara gak akan pergi, Kara akan selamanya sama kita" ucap Banu memeluk anaknya dengan erat.

"Anka, Anka aku ikut main ya? Nini bilang aku boleh ikut kamu main di taman" suar kara kecil menggenggam di telinga Anka.

"Gak, aku gak mau. Kamu main sendiri aku gak mau pergi main sama kamu. Kamu jorok masih pipis di celana"

"Nanti aku main sendiri gak dekat-dekat kamu. Boleh ya?"

"Aku bilang gak ya gak! Sana pergi jauh-jauh aku gak mau sama kamu. Pergi sana jangan deket-deket sama aku"

Banu menahan tangan Anka yang menarik rambutnya sendiri. "Anka dengerin Ayah, Kara akan baik-baik aja" ucap Banu berusaha menenangkan anaknya.

"Kara marah sama aku Yah, aku minta maaf" lirih Anka.

"Kara gak marah sama kamu" ucap Banu mengusap air mata Anka. "Kara pasti sembuh" juaranya lagi.





KARA Where stories live. Discover now