4

12.4K 1K 48
                                    

"Kalau gue loncat dari sini, kira-kira sakit gak ya? atau malah mati? gue coba aja kali ya, dari pada penasaran" monolog Kara berdiri di balkon kamarnya, dia melangkahkan kakinya sampai ujung balkon.

"Coba kali ya? kan gak sakit ini" monolognya menundukkan kepalanya menatap ke bawah, di mana tepat bawahnya adalah kolam renang.

"Kara ngapain kamu" teriak Anka segera berlari menghampiri adiknya lalu menarik tangan Kara masuk ke dalam kamar.

"Ngapain kamu di sana? kalau jatuh gimana?" khawatir Anka sepontan memeluk adiknya dengan erat.

"Ya kalau jatuh ke bawah, lo ngapain di kamar gue?" balas Kara dengan santai melepaskan pelukannya Anka.

"Ganggu konsentrasi gue aja, gagal kan gue mau uji coba kekuatan super gue sampai di mana kira-kira" sambungnya dalam hati.

"Tadi kamu ngapain berdiri di sana, bahaya tau kalau sampai jatuh ke bawah. Kamar kamu tuh di lantai tiga-"

"Gue tau kalau kamar gue di lantai tiga, yang gue tanya ngapin lo di kamar gue?" sela Kara lalu duduk di tepi kasurnya.

"Mau ganti perban kamu, dari tadi belum di ganti kan?" ujar Anka mengambil kotak obat yang ada di laci lemari.

"Gak usah, gue bisa ganti sendiri" tolak Kara lalu membuka perban yang membalut lukanya dengan kasar, toh dirinya tidak merasakan sakit jadi tidak masalah kan.

Anka menahan tangan adiknya yang dengan seenaknya sendiri membuka perban yang melekat pada lukanya. "Tambah sakit nanti kalau gitu caranya, biar aku bantu" ucap Anka dengan hati-hati dia membersihkan darah di sekitar luka adiknya.

"Harusnya jangan sampai basah dulu perbannya, biar cepat kering lukanya. Kalau di kena air terus keringnya lama." ucap Anka sambil membalut luka adiknya dengan perban baru.

"Jam berapa ya Ayah mau kasih gue hukuman? udah mau jam sepuluh gue belum di panggil juga, di bawah kolamnya juga kayanya gak ada airnya" ucap Kara bangkit dari duduknya.

"Mau ke mana?" cegah Anka sebelum adiknya beranjak pergi. "Ayah udah tidur ini udah malem, kamu gak hukum"

"Kenapa? hari ini gue bolos sekolah berati gue gak dapet nilai, harusnya hukumannya double dong?" Kara menatap Anka dengan tatapan mata polosnya.

Dengan lembut Anka menarik tangan adiknya, memintanya untuk kembali duduk di tepi kasur. "Ayah gak bakal hukum kamu, jadi gak usah tungguin Ayah sekarang tidur udah malem"

Kara menganggukkan kepalanya lalu membaringkan tubuhnya di atas kasurnya. "Sana keluar gue mau tidur, besok harus sekolah" ucap Kara menarik selimutnya untuk menutupi seluruh tubuhnya.

Anak bangun dari duduknya, mematikan lampu kamar lalu menggantinya dengan lampu tidur. "Gue rasa ada yang salah sama lo Ka, harusnya gue dulu lebih lebih sering main sama lo dari pada pergi sama temen-temen. Sekarang gue gak tau apa-apa soal lo, apa yang lo suka, apa yang lo gak suka gue gak tau" batin Anka terus menatap adiknya yang sudah tertidur.

"Sehat-sehat dek, jangan sakit lagi" ucapnya mencium kening adiknya lalu keluar dari kamar Kara. Baru saja membuat pintu kamar, Anka di kejutkan kehadiran Banu yang ingin masuk ke dalam kamar Kara.

"Ayah, bikin kaget aja" kaget Anka ketika berpapasan dengan Banu saat bersamaan membukakan pintu kamar Kara.

"Kamu belum tidur?" tanya Banu menepuk pundak Anka.

"Ini baru mau balik ke kamar, Kara baru aja tidur perbannya udah aku ganti. Aku ke kamar dulu Yah" ucap Anka lalu pergi ke kamarnya sendiri.

Banu masuk ke dalam kamar Kara, dia menatap anaknya yang sudah tertidur lelap. Perlahan tangan Banu terulur mengusap rambut anak bungsunya, terlihat jelas luka di dahi anak itu masih basah. Banu mengerutkan dahinya mengusap memar di bawah mata Kara yang di dapat anak itu tiga hari yang lalu.

"Masih sama, kenapa pudarnya lama?" guamamnya.

"Gue bilang keluar Anka" guamn Kara dengan mata terpejam, dia menepis tangan Banu lalu membalikkan tubuhnya membelakangi Banu.

Banu mendudukkan dirinya di kursi meja belajar Kara, dia menatap setumpuk kertas yang ada di meja belajar. Kertas-kertas itu adalah kertas soal dari sekolah yang harus di pelajari ulang oleh Kara.

Banu memeriksa satu persatu kertas soal tersebut, semuanya sudah di kerjakan oleh Kara. Meskipun masih banyak yang salah Kara sudah berusaha menjawab semua soal-soal yang di berikan Banu.

"Kenapa anak ini bodoh sekali, soal ini udah di ulang berkali-kali tapi tetap aja salah" kesal Banu membuang semua kertas-kertas itu ke tong sampah.

"Mau sampai kapan dia tetap duduk di bangku kelas dulu SMP. Apa dia gak punya rasa malu terus-menerus gak naik kelas" monolog Banu, dia tidak tahu harus bagaimana lagi dengan anak bungsunya.

Semua cara sudah dia lakukan agar nilai anaknya lebih baik, nyatanya tidak ada perubahan. Hasilnya tetap sama dan anaknya itu sudah dua kali tidak naik kelas.

Banu mengusap wajahnya sendiri, menyandarkan tubuhnya kursi. Ingatannya kembali pada masa lalu, di mana pengasuh Kara berpamitan pada dirinya untuk berhenti bekerja dan kembali ke kampung halamannya.

Flashback 

Sore itu Banu sedang duduk santai di ruang keluarga, pengasuh Kara menghampirinya dan meminta izin untuk berhenti bekerja.

Tentu Banu mengizinkan wanita paruh baya itu untuk pulang ke kampung halamannya, lagi pula anaknya juga sudah besar dan tidak perlu di awasi sepanjang waktu.

Banu memberikan sejumlah uang pada pengasuh Kara, sebagai ucapan terima kasih pada wanita itu yang sudah membantunya merawat Kara dari bayi sampai anak itu berusia dua belas tahun.

"Ini untuk bibi, sebagai ucapnya terima kasih dari ku dan Naira" ucap Banu memberikan amplop berisi uang.

"Terima kasih Tuan, tapi ini terlalu banyak untuk saya" ucap wanita itu melihat banyaknya uang yang di berikan majikannya.

"Ini belum seberapa Bi, apa yang udah Bibi lakukan sama anak aku lebih dari ini. Aku sibuk di luar kalau gak ada Bibi aku gak tau giaman nasib anak-anak. Buat kita Bibi udah bagian keluarga kita" ucap Naira tersenyum lembut pada pengasuh anaknya.

"Bibi mau apa dari aku? sebutin aja Bi, apapun yang bibi inginkan, itu sebagai hadiah dari aku" sambungnya lagi.

"Saya tidak ingin apa-apa Nyonya, saya ingin mengatakan sesuatu tentang Tuan muda Kara Nyonya?" ucap wanita itu ragu-ragu, karena sebelumnya majikan tidak perduli tentang anak bungsunya.

"Ada apa sama dia Bi?" tanya Banu.

"Kenapa lagi Kara Bi? dia berbuat ulah lagi? apa lagi yang anak itu buat di sekolah " tanya Naira.

"Bukan masalah di sekolah Nyonya, dua hari yang lalu saya membawanya ke rumah sakit, dokter memintanya untuk melakukan cek up kesehatannya. Tapi saya belum melakukannya karena Tuan muda tidak mau pergi ke rumah sakit"

"Soal itu Bibi jangan khawatir, aku yang akan bawa dia ke rumah sakit buat cek up. Selama ini dia baik-baik aja kan? Aku lihat gak ada masalah sama Kara" ucap Naira.

Wanita itu mengangguk kecil sebagai jawaban, lalu dia memberikan amplop putih berlogo rumah sakit "Ini milik Tuan muda Kara Nyonya"

Banu menerima kertas itu lalu menyimpannya di sakunya. "Nati aku baca Bi" ucap Banu.

"Apa isi kertas itu? apa ada hubungannya dengan kebodohan Kara?" monolog Banu yang waktu itu bukannya membaca kertas dari rumah sakit malah membuangnya.

"Apa aku harus membawanya ke rumah sakit untuk memeriksanya? apa aku tambah aja jam lesnya jadi tiga jam setiap mata pelajaran. Agar semua pelajaran yang di pelajari masuk ke dalam otaknya"

KARA Where stories live. Discover now