42 | Damai Bersamamu

1.6K 299 15
                                    

Aku bisa merasakan tubuh Mas Dirham tersentak kaget karena tindakanku yang tiba-tiba itu. "Sayang? Kamu baik-baik saja kan?" tanyanya yang terdengar heran sekaligus khawatir.

Mas Dirham melepaskan tautan tanganku di pinggangnya lalu membalikkan tubuhnya kembali berhadapan denganku. Kedua tangannya menangkup pipiku dan membawa kepalaku mendongak hingga pandangan mata kami bertemu. "Ada apa? Kenapa kamu menangis?" tanyanya dengan ibu jarinya yang mengusap air mataku.

"A-aku minta maaf, Mas. Aku gak tahu kamu telah melakukan banyak hal untuk aku sedangkan aku bahkan menolak untuk mendengarkan penjelasan dari kamu. Aku begitu mempermasalahkan kesalahan yang kamu buat padahal tindakanku sendiri pun tak bisa dibilang benar. Maafkan keegoisanku, Mas," pintaku sungguh-sungguh.

Aku terlalu kacau saat kehilangan calon anak kami dan mentalku semakin terguncang saat aku juga harus menerima kenyataan bahwa rahimku diangkat yang mana hal itu juga berarti bahwa aku tidak akan pernah bisa mengandung anak lagi. Rasa sedih akan kehilangan yang kurasakan begitu kuat hingga merubahnya menjadi ketakutan. Aku takut Mas Dirham akan memandangku berbeda. Aku takut eksistensiku sebagai istri di matanya tak lagi sama. Semua ketakutan itu membuatku menjadi sangat sensitif pada banyak hal, terutama pada sikap Mas Dirham. Tanpa sadar aku telah menjadi terlalu emosional terhadapnya.

Mas Dirham menghapus kembali air mataku yang terus mengalir. Ia menatapku tanpa suara sebelum kemudian mendaratkan sebuah kecupan di pucak kepalaku. Mas Dirham merapatkan jarak diantara kami dan menempelkan dahinya di dahiku. "Maafin Mas juga ya, Sayang. Maaf karena telah membuat beberapa keputusan tanpa membicarakannya dulu denganmu, tapi sungguh itu sama sekali bukan karena Mas tidak menganggapmu sebagai istri. Mas sangat mencintaimu, jadi bagaimana mungkin Mas bisa mengabaikanmu?"

Mas Dirham menarik kembali kepalanya. Kedua tangannya kini menggenggam erat tanganku. "Justru Mas melakukannya karena Mas benar-benar memikirkan kamu. Dinar, Mas pernah kehilangan seorang istri karena ketidakpekaan Mas terhadap kondisi mentalnya. Mas meninggalkan Silfa yang padahal saat itu mungkin sangat membutuhkan kehadiran sosok suami untuk mengembalikan kepercayaan dirinya dan mengasuh putri kecil kami. Mas gak mau hal itu terulang kembali, Din. Mas gak mau meninggalkan kamu di saat kita sama-sama membutuhkan untuk saling menguatkan dalam melewati cobaan ini."

Mata Mas Dirham tampak berkaca-kaca saat mengatakan hal itu. Seolah ia masih mengingat jelas luka di masa lalunya. Seolah masih ada rasa bersalah yang begitu membekas di hatinya.

"Maka dari itu Mas menolak tawaran untuk ke luar kota dan Mas juga memasang kamera tersembunyi di rumah. Mas ingin bisa selalu tahu kondisimu karena Mas gak mau lagi melihat kamu menangis dalam diam sambil memeluk Oca yang tertidur ataupun menangis sembunyi-sembunyi saat masak dengan dalih mata kamu perih karena mengiris bawang. Mas gak mau kamu menanggung kesedihanmu sendirian, Sayang. Bukankah kamu pernah janji sama Mas kalau suatu hari kamu merasa marah, kecewa, atau sedih, baik itu karena Mas atau hal lain maka kamu akan membicarakannya dengan Mas?"

Aku tak mampu menjawab pertanyaannya. Benar, aku memang telah berjanji seperti itu, tapi nyatanya justru aku sendiri lah yang melupakannya. Dalamnya duka yang kurasakan membuatku tak dapat berpikir jernih. Aku lantas menarik tanganku dari genggaman Mas Dirham dan melingkarkannya kembali di pinggang Mas Dirham. Membenamkan kepalaku di atas dada bidangnya. Dalam dekapannya, air mataku kembali merebak. Dalam pelukannya, raungan tangis kepedihan yang selama ini kupendam tak lagi bisa kuredam. Dalam rangkulannya, kulepaskan semua kekhawatiran yang selama ini menghantui pikiranku.

Aku sama sekali tak menyangka bahwa Mas Dirham mengetahui semua ratapan kepedihan yang padahal telah kucoba sembunyikan darinya. Selama ini aku telah salah mengira bahwa sikapnya berubah, padahal perhatiannya untukku justru kian bertambah. Ia bahkan memegang teguh perkataannya yang tidak ingin melihatku terluka seorang diri. Aku benar-benar telah keliru dalam menilai suamiku sendiri.

Kelap-Kelip Dinar (sekuel Kepingan Dirham)Where stories live. Discover now