24 | Sakit

1.5K 352 11
                                    

"Nanti kalau sudah selesai, kamu kabari Mas ya. Biar Mas jemput."

Aku tersenyum dan mengangguk mengiyakan titah Mas Dirham saat mengantar Oca untuk pulang lebih dulu bersamanya karena malam ini aku beserta rekan kerja yang lainnya ingin membuat pesta perpisahan sederhana untuk Shifa pada hari terakhirnya bekerja di daycare ini setelah menyerahkan surat pengunduran diri sebulan lalu.

"Mamiss pulangnya masih lama ya?" Oca bertanya padaku dan aku mengangguk mengiyakan.

"Iya, Sayang, Mamiss pulangnya sedikit lebih malam dari biasanya ya. Kalau Oca sudah mengantuk dan mau dibacakan dongeng pas Mamiss belum pulang, Oca bisa minta sama Papa ya, Sayang," ujarku.

Oca menoleh ke arah Mas Dirham dan bertanya, "Memang Papa bisa?"

Mas Dirham tersenyum lalu menggendong putri kecilnya. "Bisa dong, Sayang. Apa sih yang Papa gak bisa kalau buat anak Papa?"

Oca berseru senang membuatku tertawa kecil melihat tingkahnya. Rasanya waktu berlalu dengan sangat cepat. Sebelumnya Oca yang kukenal adalah gadis kecil yang sangat pendiam yang bahkan terlihat canggung untuk bicara dengan ayahnya sendiri, tapi kini aku bahkan sudah bisa melihatnya bersenda gurau dengan Mas Dirham layaknya hubungan seorang putri dengan sang ayah pada umumnya.

"Ya sudah kami pulang ya, Sayang." Mas Dirham berpamitan seraya mengecup keningku.

"Dadah, Mamiss!" sambung Oca seraya melambaikan tangannya. Aku pun ikut melambaikan tanganku mengantar kepergian mereka. Begitu mobil Mas Dirham melaju keluar, aku pun kembali ke dalam daycare untuk menyiapkan acara perpisahan dengan Shifa.

***

Begitu membuka mata di pagi hari, rasa mual langsung menyergapku. Dengan segera aku beringsut turun dari ranjang lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk mengeluarkan isi perutku di wastafel. Namun sayangnya, aku tak bisa memuntahkan apa pun.

"Sayang, kenapa?" Mas Dirham muncul di pintu kamar mandi. Dengan segera ia kemudian menghampiriku dan membantuku berjalan kembali ke ranjang. "Kamu sakit?" tanyanya lagi.

"Kayaknya aku masuk angin deh, Mas. Semalam kan aku pulangnya agak larut," sahutku.

"Kita ke dokter yuk? Kamu juga belakangan ini kayaknya kecapekan," usul Mas Dirham tapi aku menolaknya. Aku pikir kondisiku tak parah dan hanya masuk angin biasa.

"Gak usah, Mas, nanti aku minum obat masuk angin aja sama vitamin untuk daya tahan tubuh."

Mas Dirham menatapku khawatir. Satu tangannya terulur untuk membelai kepalaku. "Kamu yakin, Sayang?" tanyanya dan aku mengangguk.

"Ya sudah, Mas, mending sekarang kamu mandi. Aku juga mau siapin sarapan." Dengan segera aku bergegas bangun. Mas Dirham masih menatapku cemas tapi aku menarik lengannya agar ia ikut berdiri lalu mendorongnya pelan sampai ke pintu kamar mandi. Di depan pintu kamar mandi pun Mas Dirham tak langsung masuk. Ia malah berbalik menatapku dan kembali menawarkanku untuk ke rumah sakit.

"Aku gak apa-apa kok, Mas. Jangan khawatir ya," ujarku meyakinkannya. Menghela napas pasrah, akhirnya Mas Dirham pun masuk ke dalam kamar mandi.

Selagi suamiku mandi, aku menyiapkan pakaiannya lalu keluar kamar untuk membantu Bi Santi menyiapkan sarapan. Saat aku ke dapur, Bi Santi sepertinya baru saja selesai memasak nasi. Aroma nasi hangat yang baru matang memicu mualku datang kembali.

"Eh, Ibu kenapa?" Bi Santi langsung menghampiriku saat melihatku akan muntah. Menarik kursi di meja makan, ia pun membantuku duduk.

"Gak apa-apa kok, Bi. Cuma rada mual aja kayaknya masuk angin," sahutku.

Kelap-Kelip Dinar (sekuel Kepingan Dirham)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang