25 | Khawatir

1.3K 349 17
                                    

Layaknya burung yang sebelah sayapnya terluka, seperti itu pula kondisi Oca pasca mendengar kabar bahwa Azzam kecelakaan dan dioperasi. Mereka yang awalnya asing kini telah menjadi teman dekat. Cukup dekat untuk saling mengkhawatirkan satu sama lain.

Selama Azzam tak berada di daycare, Oca kehilangan minatnya dalam beraktivitas ataupun bermain di daycare. Bukan karena Azzam adalah satu-satunya teman yang Oca miliki di daycare ini, tapi karena Azzam mungkin telah menjadi kawan yang spesial bagi Oca. Sehingga saat pria kecil itu tak ada, Oca pun turut merasa hampa.

"Mamiss, Azzam sembuhnya masih lama ya?" tanya Oca saat aku menemaninya sebelum tidur.

Aku mengusap pelan kepalanya. "Doain aja ya, Sayang. Semoga Azzam bisa cepat sembuh," jawabku. Aku pun belum sempat menengoknya sebab di daycare juga tengah sibuk mempersiapkan acara untuk merayakan hari berdirinya Fun Daycare tempatku bekerja. Rencananya akan diadakan ragam lomba untuk anak-anak, ada doorprize untuk para pekerja serta hadiah untuk caregiver ataupun teacher terbaik yang memenangkan suara terbanyak dari pemilihan yang dilakukan oleh anak-anak di daycare. Karena aku menjadi salah satu penanggungjawab untuk acara itu, aku menjadi lebih sibuk belakangan ini. Bahkan tak jarang Oca pulang dari daycare lebih dulu dengan Papa atau Mas Dirham yang menjemputnya.

"Sayang, kamu mau jengukin Azzam?" tanyaku padanya. Akhir pekan nanti aku akan menghadiri resepsi pernikahan Shifa. Mungkin kami bisa menyempatkan diri untuk menjenguk Azzam di rumah sakit usai menghadiri pernikahan Shifa.

Oca mengangguk menyetujui ajakanku. "Mau, Mamiss! Kapan?"

"Nanti ya, Sayang, pas Papa sama Mamiss libur. Sekalian kita datang ke pernikahannya Miss Shifa," jawabku.

"Oke, Mamiss. Kita bawa apa buat jenguk Azzam?"

Aku berpikir sejenak. "Hmm... bawa apa ya? Oca ada ide?" Aku bertanya balik padanya.

"Azzam kan suka sama doraemon, Mamiss, kita bawain barang-barang yang ada gambar doraemonnya aja."

Aku tersenyum. Menyambut baik idenya. "Boleh, Sayang. Nanti Mamiss coba cari yaa. Kok Oca tahu kalau Azzam suka doraemon?"

"Iya, Azzam pernah bilang sama aku."

"Kalau Oca sukanya apa?"

Oca mendongak menatapku saat aku menanyakan hal itu. Tangan mungilnya kemudian meraih dan memelukku. "Aku suka Mamiss," ujarnya membuatku tersenyum bangga sekaligus haru.

Ya Tuhan, aku benar-benar tak menyangka telah menemani Oca sampai sejauh ini. Melihat juga merasakan setiap perubahan yang terjadi padanya. Semoga ke depannya juga akan banyak hal-hal baik yang terjadi pada kami.

Aku menoleh saat mendengar suara pintu kamar Oca diketuk. Saat pintu terbuka, dari luar muncul Mas Dirham yang kemudian berjalan menghampiriku lalu berbisik. "Sayang, ada Mama.".

Aku mengangguk dan kembali menatap Oca. Gadis kecilku itu sudah mengantuk. Kalau ia tahu di luar ada Mama, bisa-bisa ia tak jadi tidur. Aku kemudian berbisik pada Mas Dirham dan memintanya untuk menemani Oca sampai ia tidur sementara aku menemui Mama.

Begitu Mas Dirham setuju, aku lalu keluar dari kamar Oca untuk menemui Mama yang ternyata tengah berada di dapur dengan Bi Santi.

"Ada apa, Ma? Tumben ke sini malam-malam," sapaku padanya seraya mengecup punggung tangannya.

"Ini Mama bawakan lauk buat kamu. Belakangan kan kamu lagi sibuk, Mama bikinin makanan yang bisa awet disimpan di kulkas jadi tinggal kamu masak pas mau dimakan." Mama menunjukkan padaku kotak makan yang telah terisi dengan ragam masakannya. Ada ayam katsu, rendang, hingga ayam marinasi bumbu kuning.

Melihat kotak-kotak makanan itu di atas meja dipindahkan ke dalan kulkas oleh Bi Santi membuat air mataku tanpa sadar menetes. Dadaku tiba-tiba saja terasa sesak dan aku menjadi begitu sedih.

"Eh, Din? Kok kamu nangis?" tegur Mama. Bi Santi bahkan ikut terkejut melihatku tiba-tiba menangis.

Tangan Mama terulur untuk membawaku ke dalam dekapannya. "Kenapa, Din? Ada apa?" tanya Mama membuat air mataku jatuh berderai. Aku pun terisak dalam pelukannya.

Melihat Mama membawakan makanan untukku karena tahu bahwa belakangan ini aku sibuk di tempat kerja entah kenapa membuatku jadi sedih. Aku terharu karena kepeduliannya. Mama tetap memperhatikanku walau aku bukanlah anak-anak lagi. Aku bahkan sudah menjadi seorang ibu sekarang.

"M-maaf ya, Ma. Padahal Dinar sudah besar, sudah berkeluarga pula, tapi tetap saja Dinar masih membuat Mama khawatir," ujarku di sela-sela isak tangisku.

Aku mendengar suara tawa pelan Mama saat aku mengatakan hal itu. Ia mengusap punggungku lembut. "Ya ampun, Dinar. Kamu ini anak Mama. Mau kamu sudah besar, berkeluarga, atau bahkan tua renta sekalipun, selama Mama masih hidup Mama akan selalu memperhatikan keadaanmu." Mama kemudian mengurai pelukan kami. "Sudah, jangan menangis. Tumben kamu nangis begini. Habis nonton drama keluarga ya?" ujarnya menggodaku.

Aku menghapus jejak air mata di pipiku sambil merengut. "Ih, orang aku terharu juga, Ma," sahutku.

"Gak biasanya kamu emosional kayak gini. Udah, ngaku aja abis nonton drama apa?"

Ditanya seperti itu membuatku juga jadi berpikir lagi. Memang sih aku orangnya mudah terbawa perasaan, tapi tak pernah sampai tiba-tiba menangis seperti ini. Apa iya aku terlalu emosional?

***

To be continue

To be continue

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Kelap-Kelip Dinar (sekuel Kepingan Dirham)Where stories live. Discover now