20 | Teman

1.4K 379 28
                                    

"Din, Din!"

Aku menoleh saat Athala memanggilku sembari memegang lenganku. Aku yang hendak kembali masuk ke ruang belajar usai mencuci tangan pun lantas menghentikan langkahku. "Kenapa, Tha?" tanyaku.

"Boleh titip Oca sebentar?" Athala mengatakan itu dengan wajah memohon dan peluh memenuhi dahinya. Membuatku jadi khawatir melihatnya. Apa Athala sakit? pikirku.

"Boleh aja, tapi lu kenapa? Sakit?" tanyaku.

"Mau buang air, Din! Udah gak tahan lagi nih," sahut Athala. Cengkramannya di lenganku menguat seiring dengan ia yang menggigit bibirnya. "Titip Oca ya pokoknya. Dia lagi main balok susun." Athala mengatakan itu sembari berlari. Membuatku geleng-geleng kepala melihatnya. Niatku untuk kembali ke ruang belajar jadi bergeser menuju ruang bermain sebab Athala bilang bahwa puttiku itu tengah bermain balok susun.

Aku mengedarkan pandangan begitu memasuki ruang bermain untuk encari keberadaan Oca. Ternyata gadis kecilku berada di sudut ruangan dengan punggungnya membelakangi pintu sehingga ia tak melihatku datang. Gadis kecilku itu tak bermain seorang diri. Ada anak laki-laki yang duduk di sebelahnya dan turut menyusun bangunan balok bersamanya. Ya, anak lelaki itu adalah Azzam.

Ada sesuatu yang kulihat berbeda dari hari ke hari, yaitu interaksi antara Oca dan Azzam. Keduanya─terutama Oca─ tak lagi kaku seperti sebelumnya. Kuperhatikan belakangan ini mereka kerap melakukan aktivitas berdua. Apalagi saat ada aktivitas kelompok, Azzam pasti selalu mengajak Oca atau secara natural berdiri di sebelah Oca seolah mereka adalah satu paket. Yang menariknya bagiku adalah Oca pun tak tampak risi dengan itu. Sepertinya Azzam kini telah berhasil menempatkan dirinya di posisi 'teman' untuk Oca.

Aku lantas berjalan menghampiri Oca dan Azzam untuk menyapa dan menemani keduanya. Saat aku hendak memanggil mereka, kuurungkan niatku itu. Bibir yang sudah terbuka dan siap bersuara, kembali kukatupkan karena mendengar perbincangan mereka.

"Papa sama Mama kamu yang lama pisahnya kenapa?" Tubuhku reflek menegang. Pertanyaan yang terlontar dari mulut Azzam itu membuat jantungku terasa berhenti sesaat karena terkejut. Pembicaraan apa yang tengah dilakukan oleh dua muda-mudi belia ini? batinku bertanya-tanya. Kenapa Azzam bisa bertanya soal hubungan orang tua Oca sebelumnya? Aku takut Oca akan histeris kembali karena mengingat masa lalu kelamnya sebab pembicaraan yang mengarah pada almarhumah ibunya itu. Tanpa sadar aku meneguk salivaku dengan gelisah. Menanti respon apa yang akan Oca berikan.

"Karena Mama jahat," jawab Oca singkat. Karena berada di belakangnya, aku tak dapat melihat ekspresi gadis kecilku saat mengatakan hal itu. Namun, dari kepalanya yang menunduk dan punggungnya yang terlihat lesu, kurasa Oca masih menyimpan banyak kekecewaan di lubuk hatinya.

"Sama dong. Mamaku juga sudah pisah dari papaku karena Papa jahat."

Mataku terbelalak. Jika pertanyaan Azzam sebelumnya membuatku terkejut, kali ini pernyataan lelaki kecil itu bahkan membuatku lebih kaget lagi. Aku memang sudah tahu kalau Bu Raya tak lagi berada dalam ikatan pernikahan karena status pernikahan yang tercantum di data diri wali yang beliau isi. Namun, aku tak pernah tahu penyebab dibalik hal itu. Jika mendengar dari apa yang dikatakan Azzam, kemungkinan besar rumah tangga Bu Raya sebelumnya tidaklah baik-baik saja.

"Jahat kenapa?" Oca bertanya. Mewakili rasa penasaranku juga.

"Papa sering bikin Mama nangis. Papa juga kasar ke Mama. Makanya aku gak mau punya papa lagi."

Aku terdiam di tempatku mendengarkan keluh-kesah Azzam. Tak pernah terpikirkan olehku bahwa bibir mungil itu akan mengungkapkan penderitaan yang pernah dialaminya. Rupanya Azzam pun memiliki pengalaman pahit di masa lalunya yang tercipta dari orang tuanya sendiri. Tak kusangka bahwa anak yang cukup ceria seperti Azzam ternyata juga menyimpan luka dalam hatinya.

"Kalau kamu kenapa kok mau punya mama baru? Memang kamu gak takut mama baru kamu jahat seperti yang lama?" tanya Azzam pada Oca.

Aku kembali meneguk salivaku. Jantungku seolah tak ada habisnya dibuat berdebar kencang oleh pembicaraan dua anak kecil ini. Siapa sangka obrolan santai yang dilakukan oleh anak-anak ini ternyata sangatlah menegangkan bagi orang dewasa sepertiku?

Oca terdiam cukup lama. Kukira gadisku itu mungkin takkan menjawab. Kupikir Oca bisa saja masih memiliki ketakutan seperti itu dalam hatinya mengingat ia sendiri pernah mengatakan bahwa ia takut kalau aku akan berubah seperti ibunya dulu. Mungkin masih butuh waktu lama bagiku untuk bisa sepenuhnya diterima oleh Oca. Pikiranku sudah begitu pesimis, tapi kemudian kalimat yang keluar dari bibir gadis kecilku membuat semua kekhawatiranku terpatahkan.

"Tadinya juga takut, tapi Miss Dinar baik. Sama sekali gak mirip Mama. Kamu juga mungkin begitu. Bisa saja papa baru kamu nanti orang baik yang beda dari papa lama kamu."

Kedua sudut bibirku terangkat membentuk senyuman. Terharu sekaligus bangga mendengar jawaban putriku. Terharu pada caranya memandang tentang diriku dan bangga pada caranya menyemangati temannya. Siapa yang mengira bahwa putriku akan dapat memberi jawaban seperti itu? Oca yang dulu bahkan ragu terhadap dirinya sendiri, sekarang sudah bisa meyakinkan temannya.

Aku ingat betul bagaimana Oca selalu histeris tiap kali mengingat perlakuan buruk yang pernah almarhumah ibunya lakukan, tapi kini gadis kecilku itu bahkan bisa sangat tenang menjawab pertanyaan yang mengungkit tentang masa lalunya. Lebih dari itu, gadis kecilku itu kini sudah mulai membuka dirinya untuk menerima orang baru dalam hidupnya. Ia sudah mulai memberanikan diri untuk keluar dari rasa takut yang selama ini mengungkungnya.

Jariku menghapus bulir air yang menetes dari sudut mata. Aku sangat bangga melihat perubahan baik yang terus terjadi pada Oca. Untuk bisa sampai pada titik ini gadis kecilku telah banyak melalui ragam proses dan aku bahagia bisa berada di sisinya untuk melalui proses itu.

"Oh bisa ya kayak gitu." Azzam menyahut setelah sebelumnya terdiam. Aku tak tahu seberapa besar rasa kecewa ataupun duka yang terpendam dalam hatinya karena menyaksikan kegagalan pada hubungan kedua orangtuanya, tapi aku berharap ia kembali menemukan harapan baru dalam hidupnya. Harapan yang membuatnya yakin bahwa keadaan tak selalu buruk dan ia takkan selamanya terpuruk.

"Din?" Aku menoleh saat merasakan tepukan halus di pundakku. Buru-buru aku pun mengatur napasku agar tak nampak bahwa aku baru saja terbawa oleh pembicaraan yang begitu emosional.

"Eh, Tha," ujarku pada Athala yang baru saja kembali dari toilet.

"Kok lu malah berdiri di sini?" tanyanya padaku.

Aku tersenyum lalu kembali memandang punggung Oca dan Azzam. "Mereka lagi asik mainnya jadi gue mengawasi dari sini aja. Ya udah karena lu juga sudah di sini, gue balik dampingi anak yang lain ya," pamitku pada Athala.

Sesaat sebelum langkah kakiku meninggalkan ruang bermain, aku kembali menoleh menatap putriku dan Azzam. Dua anak kecil yang pernah terluka di masa lalu itu kuharap mereka akan menemukan banyak kebahagiaan di masa depan. Semoga pertemanan mereka membawa kebaikan untuk satu sama lain.

***

To be continue

=========================

Untuk merayakan aku aktif kembali, maka khusus hari ini double update hihi

Thanks for reading!

Much love,

Asty K.

Asty K

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Kelap-Kelip Dinar (sekuel Kepingan Dirham)Where stories live. Discover now