16 | Hadiah

2.1K 454 21
                                    

"Tumben lama, Mas?" tanyaku begitu Mas Dirham sudah menyusulku masuk ke dalam kamar usai memarkirkan mobilnya. Biasanya tak butuh waktu lama untuk Mas Dirham memarkirkan mobil di luar, tapi kali ini aku bahkan sudah selesai mandi dan ia baru masuk ke kamar.

"Tadi ngobrol bentar sama Pak Wandi," jawabnya seraya meletakkan tas kerjanya di sofa.

"Ooh gitu. Kamu mau langsung mandi sekarang atau nanti?" tanyaku lagi

"Sekarang aja, Sayang."

Selagi Mas Dirham membuka kemejanya, aku pun mencarikan pakaian ganti untuknya dari dalam lemari dan meletakkannya di atas kasur. Kemudian aku juga mengambil pakaian kotornya dan memasukkannya ke dalam keranjang untuk nanti kupindahkan ke ruang cuci.

Setelah Mas Dirham masuk ke kamar mandi, aku memutuskan untuk keluar kamar dan pergi ke dapur guna memastikan apakah Bi Santi sudah menyimpan sayuran juga daging dan ayam yang tadi sempat aku beli bersama Mas Dirham dan Oca di supermarket sebelum pulang ke rumah. Sekalian aku juga ingin mengeksekusi beberapa di antaranya untuk kumasak sebagai makan malam. Namun, saat memasuki dapur kulihat Bi Santi tengah sibuk membuka bungkus makanan dan memindahkannya ke dalam wadah.

"Siapa yang pesan makanan, Bi?" tanyaku padanya.

"Pak Dirham, Bu."

Aku manggut-manggut mendengar jawaban Bi Santi. "Sini saya bantu ya, Bi." Tanganku sudah terulur, bersiap untuk membantu Bi Santi. Namun, Bi Santi menolak bantuan yang kutawarkan.

"Gak usah, Bu, gak apa-apa. Nanti Ibu capek."

Mataku menyipit heran mendengarnya, tetapi kemudian aku tertawa karena merasa lucu dengan alasan Bi Santi. "Saya kan buka bungkus makanan, Bi, bukan buka usaha. Gak capek lah," ujarku. Meski aku sudah berkata demikian, Bi Santi tetap kukuh pada penolakannya.

"Jangan, Bu. Sudah, biar saya aja ya. Ibu istirahat dulu aja," kukuhnya.

Jujur saja aku merasa sedikit heran, tetapi aku memilih untuk mengalah. Gak lucu kan kalau aku tetap maksa dan berujung rebutan buka bungkus makanan sama Bi Santi?

"Kalau bahan makanan yang tadi saya taruh di meja sudah disortir dan di simpan, Bi?" tanyaku dan Bi Santi mengacungkan dua ibu jarinya langsung.

"Aman pokoknya, Bu," sahutnya.

"Ya sudah saya tinggal ya, Bi," ujarku dan Bi Santi mengangguk mempersilakan. Karena tak ada yang bisa kulakukan di dapur, sebaiknya aku pergi ke tempat lain saja. Meninggalkan Bi Santi, aku akhirnya melangkahkan kaki menuju kamar Oca.

"Sayang, kenapa kamu belum mandi?" sapaku saat membuka pintu kamar Oca dan melihatnya duduk di kursi belajarnya masih dengan pakaian yang sama.

Aku melangkah masuk lebih jauh untuk menghampirinya. Pandanganku tertuju pada sebuah benda yang ia letakkan di meja belajarnya yang juga tengah dipandanginya. "Kenapa, Sayang? Ada sesuatu di kotak pensilnya?" tanyaku.

Oca menggeleng, tetapi matanya masih tak lepas dari tempat pensil yang baru saja diterima olehnya hari ini. Tempat pensil dengan gambar kartun doraemon pemberian dari Azzam.

"Terus kenapa kok Oca lihat tempat pensilnya seperti itu?" tanyaku lagi.

"Rasanya aneh aja, Mamiss."

Dahiku mengerut mendengar jawabannya. "Aneh kenapa, Sayang?"

"Azzam gak sengaja kotorin tempat pensil aku aja langsung kasih gantinya, sedangkan Mama dulu banyak rusakin barang-barang aku tapi gak pernah ganti apa-apa. Bilang maaf juga enggak."

Aku terdiam. Luka yang nampak begitu jelas dalam pandangan Oca membuatku hilang kata-kata seketika. Aku hanya bisa memberinya pelukan. Pelukan yang kuharap mampu menyelamatkan jiwanya yang telah lama rapuh dan tenggelam dalam kesedihan sendirian.

Kelap-Kelip Dinar (sekuel Kepingan Dirham)Where stories live. Discover now