2 | Dimuliakan

4.6K 782 29
                                    

"Assalamualaikum." Aku membuka pintu rumah kedua orang tuaku dan mendapati keadaan rumah yang kosong. Loh? Mama dan Papa ke mana? Kalau sedang pergi kenapa pintu rumah tidak dikunci? pikirku.

"Assalamualaikum. Mama? Papa?" panggilku lagi.

"Iya, wa'alaikumsalam." Akhirnya terdengar suara Mama yang menyahut. Melihat Mama keluar dari kamarnya, aku lantas menghampirinya dan mengulurkan tanganku untuk mengecup punggung tangannya.

"Kok kamu di sini, Din?" tanya Mama membuatku ternganga mendengarnya. Astaghfirullah, mamaku gak senang gitu lihat anaknya sendiri?

"Aku gak boleh di sini, Ma? Ya Allah, Mama udah gak mau ketemu anak Mama lagi sekarang?" tanyaku dramatis.

Mama lantas menjitak kepalaku usai mendengar pertanyaan yang kulontarkan dengan hiperbolis itu. Ia kemudian berjalan menuju sofa ruang tamu dan aku pun mengekornya. "Maksud Mama kok kamu udah di sini lagi aja. Bukannya kamu lagi liburan sama Dirham?" tanya Mama.

"Masa liburannya dipercepat, Ma," sahutku sambil menduduki sisi sofa yang kosong di sebelah Mama. Tanganku mengulurkan bingkisan yang kubawa dan memberikannya pada Mama. "Nih buat Mama sama Papa," ujarku kemudian.

"Alhamdulillah. Apa ini?" tanya Mama sambil mengintip bingkisan yang kuberikan.

"Oleh-oleh," jawabku tanpa memberitahu detail isinya. Toh, Mama akan melihatnya sendiri nanti.

"Duilah, pakai oleh-oleh segala. Kayak dari luar kota aja kamu. Tapi, makasih ya."

"Sama-sama, Ma. Oh iya, Papa mana sih, Ma? Tidur?" tanyaku kemudian karena menyadari Papa tak kunjung terlihat di sekitar kami.

"Enggak, Papa lagi ke tukang kembang. Tadi sih bilangnya mau beli tanaman baru. Katanya mau tambah anak soalnya kan anaknya yang satu sudah gak tinggal serumah lagi sekarang."

Aku dibuat geleng-geleng kepala mendengarnya. Berarti saudara tumbuh-tumbuhanku akan bertambah lagi? Sudah ada Mawar, Anggrek, Lidah Buaya, dan masih banyak lagi yang lainnya, sekarang mau ditambah lagi? Kalau saja tanaman bisa dimasukkan ke dalam kartu keluarga, aku yakin daftar anggota di keluarga ini akan jadi sangat panjang.

"Kamu juga kok sendiri ke sini? Dirham ke mana?" tanya Mama.

"Aku tadi disuruh Mas Dirham ke sini duluan, Ma. Mas Dirham lagi parkir mobil dulu di rumah sama taruh barang. Paling sebentar lagi juga nyusul ke sini."

Dahi Mama mengerut mendengar jawabanku. "Berarti kamu belum pulang ke rumah dulu ya? Memang di rumah sana gak ada orang, Din?" tanyanya lagi.

"Ada Bi Santi. Kalau Oca lagi terapi sama Mama Andira."

"Ooh, begitu." Kali ini Mama manggut-manggut mendengar penjelasanku. Ia kemudian menaruh bingkisan─yang sedari tadi masih di pangkuannya─ ke atas meja dan mengubah posisi tubuhnya yang semula menyamping jadi menghadapku. "Terus, gimana liburan kamu? Kenapa dipercepat? Ada masalah yang mendesak?" tanyanya.

Aku menggeleng menjawab pertanyaannya. "Gak ada apa-apa sih, Ma. Aku kepikiran aja sama Oca yang gak bisa ikut sama kita," sahutku. Aku tak ingin membuat Oca terbesit perasaan 'ditinggalkan' oleh kami pasca pernikahan. Aku tak mau persepsi akan sebuah pernikahan menjadi bertambah buruk di mata Oca yang memiliki kenangan pahit dari pernikahan kedua orang tuanya sebelumnya.

"Oh gitu, tadinya Mama kira kalian mau liburan sampai selesai masa cuti kerja."

Aku menggeleng pelan. "Nggak ah, Ma. Masih banyak yang harus diurus di sini. Lagipula bosan juga liburan di kamar hotel terus," sahutku.

"Kok di kamar ter─ooh..." Mama tak melanjutkan kalimatnya. Ia memandangku dengan tatapan dan senyuman yang mencurigakan. Membuatku menerka-nerka ke arah mana pemikirannya ini.

Kelap-Kelip Dinar (sekuel Kepingan Dirham)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu