17: Daryll's Girls 2/2

2.2K 309 85
                                    


Kesha

"Raaayyy, kamu yakin mau makan di tempat kuotie itu? Jam segini pasti penuh banget! Kita pasti enggak akan dapat tempat

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Raaayyy, kamu yakin mau makan di tempat kuotie itu? Jam segini pasti penuh banget! Kita pasti enggak akan dapat tempat. Daripada maksa, mending makan di tempat lain aja, yuk?" bujuk gue sambil mengikuti langkah Ray pasrah.

Sejak maghrib tadi, cowok gue itu enggak berhenti-berhentinya membicarakan tentang warung makan yang menjual kuotie dan sate babi paling enak se-Jakarta. Padahal, jelas-jelas hari ini malam sabtu. Tepat jam makan malam pula. Boro-boro akan dapat meja kosong, kami bahkan harus memarkir mobil lumayan jauh karena sepanjang Jalan Pecenongan dipadati oleh mobil-mobil yang diparkir berdempetan. Kalau mobilnya aja sebanyak ini, kebayang kan jumlah pengunjungnya sebanyak apa? Daripada maksa makan di Pecenongan, mending kami cari restoran lain yang udah pasti sepi aja, deh.

Tapi, Ray tetap Ray. Cowok itu enggak akan berhenti sebelum mendapatkan apa yang dia mau. Kalau ia mau makan kuotie, maka ia dapat memastikan akan pulang dengan perut penuh kuotie. Entah bagaimana pun caranya. Terkadang sifat keukeuh dan ngototnya ini bikin gue kagum, walau sering juga bikin gue ingin melempar meja ke wajahnya karena capek meladeni sifat keras kepalanya.

"Ray, aku udah laper bangeeet! Bisa-bisa kita harus nunggu setengah jam untuk dapat meja kosong di sana!"

"Udah, kamu tenang aja. Kita pasti bakal langsung dapat tempat, kok." Balas Ray cuek. Cowok itu menguncir satu rambut panjangnya yang udah melebihi bahu, lalu menggandeng tangan gue agar berjalan lebih cepat.

Seumur hidup, gue enggak pernah menyangka akan berpacaran dengan cowok seperti Ray. Karena waktu kuliah mengambil jurusan hukum dan sekarang bekerja di sebuah law firm, gue udah terlalu biasa melihat cowok-cowok berbalut kemeja formal dan rambut cepak yang disisir rapi. Gue pikir, suatu hari nanti akan berakhir dengan cowok-cowok seperti itu. Lagian, gue juga enggak keberatan, kok. Gue memang suka melihat cowok dengan penampilan dandy dan professional yang membuat mereka terlihat dewasa dan bisa diandalkan.

Tapi nyatanya, sudah tujuh bulan terakhir ini gue berpacaran dengan cowok lulusan FSRD yang berprinsip kalau rambut gondrongnya adalah antena seni. Semakin gondrong rambutnya, semakin lancar inspirasinya mengalir. Karena itu, Ray enggak mengizinkan siapa pun memotong rambutnya. Kalau pun terpaksa harus dipotong, ia akan memotongnya sendiri. Hanya gue yang diizinkan untuk menyisir dan menguncir rambutnya. Selain itu boro-boro. Ray bahkan lebih memilih selangkangannya digrepe-grepe orang asing daripada rambutnya diacak-acak oleh seseorang yang padahal ia kenal. Dasar gila.

Kami bertemu lewat seorang mutual. Salah satu teman gue yang penggila seni mengajak gue ke sebuah pameran seni di daerah Dharmawangsa. Di sana lah gue berkenalan dengan Ray. Kebetulan, cowok itu bekerja sebagai kurator yang mengurus pameran seni tersebut.

Kesan pertama gue untuknya adalah... abstrak. Ray terlihat urakan dan berantakan dalam balutan kemeja kebesaran, jeans hitam sobek-sobek dan rambut gondrong yang sepertinya belum dicuci seminggu. Tapi anehnya, gue enggak bisa membayangkan penampilan lain yang cocok untuk Ray selain urakan style-nya ini. Kami bertukar kontak, janjian ketemu beberapa kali sampai akhirnya saling suka dan memutuskan untuk jadian sampai sekarang.

The Name of the FamilyWhere stories live. Discover now