9: To My Gay Son

3.3K 428 192
                                    




Zio

Ien memang bisa berteman dengan siapa saja, tapi sama seperti gue, anak itu lebih nyaman berteman dengan perempuan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ien memang bisa berteman dengan siapa saja, tapi sama seperti gue, anak itu lebih nyaman berteman dengan perempuan.

Sahabat-sahabat Ien adalah cewek-cewek terpopuler dari tiap kelas. Mereka adalah tipe geng anak SMP yang setiap istirahat makan siang akan memilih untuk duduk di meja panjang yang berada di tengah-tengah kanting supaya bisa menarik perhatian senior tampan. Memesan makanan yang paling cepat matang supaya bisa bergosip dengan suara keras sambil mengecat kuku masing-masing. Hafal banget deh gue sama tipe-tipe cewek begini. Soalnya dari SMP sampai SMA, teman-teman gue pun bentuknya kaya begitu semua.

Tapi akhir-akhir ini, Ien enggak lagi menghabiskan waktu dengan geng bebencongan ciliknya. Untuk pertama kalinya, Ien bisa dekat dengan seorang anak laki-laki di kelasnya.

"Pa, Ma, kenalin. Ini Defan. Teman sekelas aku." Ien mengenalkan gue dan Flo dengan seorang anak laki-laki jangkung berkacamata. Kulitnya agak pucat, tapi enggak membuatnya terlihat lemah. Rambut cepaknya bikin penampilannya kelihatan kaku, tapi anehnya tetap keren. Senyumnya agak congkak, tapi kece. Seragamnya dikeluarkan dan sneakers putih yang dipakainya sudah pasti keluaran terbaru dari merek ternama, "Aku sama Defan mau ke kamar buat ngerjain tugas kelompok dulu, ya!" seru Ien ceria. Ia menarik tangan Defan untuk menaiki tangga, lalu menghilang di balik pintu kamar.

Feeling gue enggak enak.

"Defan terkenal sebagai salah satu murid paling pintar di kelas. Enggak sepintar Ala sampai bisa masuk kelas A sih. Tapi lumayan, lah. Aku enggak nyangka dia mau berteman dengan Ien yang agak.... " Alih-alih menyebutkan kata terakhir, Flo mengarahkan telunjuknya ke pelipis lalu menggerakannya dengan gerakan memutar.

"Tulalit maksud kamu?" Gue menoleh ke lantai atas tempat kamar Ien berada, "Ien mah bukan tulalit lagi. Anak itu bahkan pernah berlari dan mendobrak pintu kaca hanya karena mendengar suara truk es krim. Untung kepalanya enggak bocor." Mata gue memang kembali terfokus pada layar televisi, tapi pikiran gue enggak bisa berhenti memikirkan hal lain, "Kok, Defan pingin temenan sama Ien... eh, salah. Kenapa Ien pingin temenan sama Defan?" Ien kan paling malas berteman dengan anak-anak super pintar. Menurut Ien, mereka sok pintar. Sama kaya Ala, "Pakai diajak main ke rumah segala lagi. Kok, aku ngerasa ada yang aneh, ya?"

"Semua juga aneh di mata kamu." Flo melongos. Cewek itu mengganti saluran TV menjadi HBO lalu bertanya, "Kok, kamu hari ini enggak kerja sih?"

"Dapat day off karena weekend kemarin disuruh lembur." Gue memindahkan majalah arsitektur dari pangkuan gue ke atas meja lalu bangkit berdiri, "Kayanya aku harus cek  Ien sama Defan di kamar."

"Kamu ngapain, sih? Waktu Ien bawa teman ceweknya ke kamar aja kamu biasa aja. Kenapa pas bawa teman cowok kamu jadi was-was?"

"Justru karena cowok makanya aku..." Gue berdecak, lalu langsung beranjak meniti tangga dan berhenti di depan pintu kamar Ien. Anak itu memiliki aturan keras bagi siapapun yang ingin masuk ke kamarnya untuk mengetuk pintu dahulu, tapi kalau mengetuk pintu, gue jadi enggak bisa 'menggerebek' mereka. Jadi gue langsung membuka pintu kamarnya, lalu memasang wajah innocent, "Ien, Papa-"

The Name of the FamilyWhere stories live. Discover now