Dua Puluh Dua : Bimbang

1.5K 308 86
                                    

Satu minggu udah berlalu. Dan selama itu juga gue nginep di rumah Jeni. Nggak bisa dikata nginep sih, gue nyewa per minggu seratus ribu.

Gue nggak minggat kok, hari itu selepas gue marah-marah sama mama, gue pulang sebentar buat ngambil barang-barang gue yang penting. Pergi tanpa berpamitan meskipun berkali-kali mama manggil gue dan mencoba mencegah.

"Anju, ternyata lo kebo banget ya orangnya?"

Gue merasakan tendangan di kaki gue, nggak berniat membuka selimut yang menutupi seluruh tubuh. Gue udah tahu siapa pelakunya hanya dengan mendengar suaranya.

"Lima menit lagi elah. Kapan lagi gue bisa ngebo gini?" rancau gue.

Jeni masih terus nendang kaki gue, mencoba bangunin gue. "Bangun, Gi! Ya Tuhan, udah jam 9!"

Akhirnya gue mengalah, mengerang sambil menyibak selimut. Gue mendudukan diri dengan kedua mata yang masih belum mampu untuk terbuka sempurna. Sial gue masih ngantuk banget. Nggak bisa ya gue menghabiskan minggu pertama gue sebagai jomblo dengan malas-malasan?

"Berisik banget sih, lo. Emak gue aja nggak pernah bangunin gue." desis gue masih merancau.

Samar-samar gue melihat Jeni yang berkacak pinggang. "Ini rumah gue, artinya lo kudu nurut sama peraturan gue. Nggak ada yang boleh ngebo, meskipun hari minggu!"

"Iya iya, gue bangun nih."

Sadar diri kok gue, denger kata 'rumah gue' dari mulut Jeni seketika mengingatkan gue akan hari kemarin. Nggak kerasa berlalu cepet banget.

Selama satu minggu ini, gue nggak pernah menanggapi satupun telfon dari orang rumah. Bahkan gue nge blokir nomor mama. Gue jahat nggak sih?

Setelah selesai mandi gue keluar dan menghampiri Jeni yang lagi masak di dapur. "Wuih, enak nih."

"Enak lah, lo tinggal terima jadi. Kaga bayar lagi."

"Gue bayar ya seminggu seratus ribu."

"Uang segitu mana cukup buat bayar tagihan listrik, air, sewa kamar, sama makan tiga kali sehari. Enak di elo rugi di gue."

Gue cuma mencibir, bodo amat. Lagian juga kemarin-kemarin dia yang nawarin gue.

"Besok jadinya lo MO sama siapa? Bu Yoona kan sakit tuh."

Oh iya! Jadi inget gue kalo besok marketing out ke jeju. Tapi Bu Yoona sakit?

"Kapan? Perasaan kemarin jumat masih sehat-sehat aja."

"Kebiasaan nggak pernah nengokin grup devisi kan."

Gue mengendikkan bahu tak acuh. Lagian kan males aja ya berisik, isinya juga paling obrolan nggak berfaedah cowok-cowok mesum di devisi marketing. "Terus siapa yang gantiin bu Yoona? Masa gue sendirian sih? Ini kan gue mau ketemu orang gede juga."

"Tanya, Gi. Lo punya boss, punya hape, buat apa kalo nggak di gunain?" gue meringis mendengar ucapan Jeni.

Gue memutuskan untuk bertanya setelah sarapan. Nggak tau sih masih bisa disebut sarapan apa kagak jam segini. Setelahnya gue langsung nelfon bu Yoona.

Katanya bakalan ada yang gantiin dia nanti, tapi pas gue tanya siapa orangnya dia cuma bilang 'nanti juga ketemu, gausah banyak nanya.'

Gue mah cuma bisa ngedesah doang dengernya. Punya atasan yang jutek tapi apa-apa harus berjalan lancar tanpa kendala, jangan banyak tanya, pokoknya bu Yoona nggak mau tau, semua harus selesai pada waktunya.

Yaudah lah, percumah juga gue mohon-mohon. Hasilnya juga sama, nihil. Dia orangnya kalo enggak ya enggak.

Dan hari minggu berlalu, ketika gue udah sampai satu jam yang lalu di bandara incheon. Gue masih belum mendapati siapa orang yang akan gantiin bu Yoona bersama gue.

Naked Soul (Chanseul)Where stories live. Discover now