14. si imel

9.6K 2.5K 1K
                                    

Di sebuah ruangan yang hanya diterangi lampu temaram, isakan tangis terdengar lirih dan menyedihkan. Gadis yang bersuara  itu belum lama datang, mengisi satu lagi sel-sel sempit yang dibuat mengelilingi bagian tengah ruangan yang tidak lebih luas. Lantainya dari semen, ternoda bercak-bercak darah. Dingin, pengap, dan mencekam. Bau anyir bercampur dengan busuknya sisa-sisa makanan dan kotoran para tawanan yang cantik. Pintu mengeluarkan bunyi derit saat dibuka, membuat ketiga gadis yang ditawan mendadak waspada. Seseorang masuk, tersenyum dingin sambll berjalan menuju lemari pendingin tempat ia menyimpan potongan organ manusia koleksinya. Saat ia kemudian mendekat pada gadis-gadis yang dikurung dalam sel, mereka menjerit histeris dan ketakutan ㅡtapi teredam tanpa ada yang mendengar.



*****





"APA?!"

"Ssttt, jangan berisik Gue!"

Alin terpaksa membekap mulut Mahendra yang berseru keras. Setelah pak Satria kembali ke Jakarta tadi pagi, Alin sudah berpikir matang-matang. Ia akhirnya memberanikan diri mengaku kalau dia sebenarnya merasa baik-baik saja dan hasil tes kesehatan di rumah sakit mungkin juga akan menyatakan hal yang sama. Tapi ia memutuskan memberi tahu Mahe alih-alih Jenan, soalnya takut.

"Tapiㅡ terus, berarti lo inget dong nama sama tempat tinggal lo?" tanya Mahe.

"Tolong jangan marah, saya nggak bermaksud menipu kamu atau Jenan ㅡatau siapa pun. Saya ingat semuanya kecuali nama saya sendiri," jawab Alin sepelan mungkin.

Mahe mengernyit. Alin yang bohong tapi dia yang merasa ikut panik. "Oke, gue percaya. Tapi kenapa lo nggak bilang dari awal aja sih??"

"S-saya nggak tau harus tinggal di mana kalau nggak di sini. Maaf," ujar Alin dengan muka memelas.

"Ck- emang lo tinggal di mana sih tadinya??" tanya Mahe penasaran.

Pertanyaan itu tentu saja tidak bisa Alin jawab. Bukannya tidak mau jujur, tapi memangnya Mahe akan percaya kalau dia tinggal di komplek ini seratus tahun yang lalu? Bagaimanapun itu tidak masuk akal. Paling Mahe akan menertawainya lalu menyebut dia kaset rusak lagi.

"Heh, jawab," tukas Mahe pada gadis di depannya, mengibaskan tangan di depan muka bengong Alin.

"M-maaf, saya nggak bisa jawab," geleng Alin frustasi. "Tapi saya bukan orang jahat! Demi Tuhan saya nggak ada niat jahat!"

Mahe diam menatap Alin cukup lama, kemudian akhirnya menghela napas. "Alin... Alin... ada-ada aja lo. Gue sih percaya aja lo bukan orang jahat. Ngomong aja kayak kaset rusak, boro-boro jahat. Tapi masalahnya, lo udah telanjur bohong."

"Makanya..." keluh Alin. "Saya takut diusir kalau hasil dari rumah sakit udah keluar."

"Hm... Kenapa lo bilangnya ke gue, bukan Jenan?" bisik Mahe.

"Apaan? Bilang apa? Kalian ngapain bisik-bisik di pojokan?"

"E AYAM EH NGAGETIN AJA LO!"

Jenan yang baru muncul dari dalam rumah mengernyit melihat adiknya latah setelah kepergok ngobrol bisik-bisik dengan Alin di pojokan balkon. Sementara dua orang itu terperanjat karena setahu mereka tadi Jenan sedang tidur siang.

"Ayam mulu latahnya nggak ada yang bagusan dikit??" Jenan terkekeh. "Ngomongin apa hayo?!"

"Ngomongin elo!" sahut Mahe, Alin langsung melotot panik di sebelahnya. "Gue bilang, untung Alin nggak dikawinin pas kepergok sama lo di dalem kamar."

You Who Came from the PastWhere stories live. Discover now