10. prasangka

11.1K 2.8K 1.6K
                                    

Satu abad lebih berlalu di kampung halamannya, Alin merasa banyak sekali yang berubah di daerah ini. Dulu dia tinggal di puncak bukit, rumah paling besar dan bagus dikelilingi perkebunan luas yang subur. Penduduk dengan kasta lebih rendah bermukim di kaki bukit, pada gubuk-gubuk sedearhan berdinding anyaman bambu. Sekarang semua gubuk itu lenyap, berganti dengan rumah-rumah megah seperti milik Jenandra dan Mahendra.

Sulit untuk mengenali jalanan setelah perbedaan waktu seratus dua puluh tahun, tapi Alin nekat keluar rumah pagi-pagi buta. Setelah penculikan terjadi lagi, dia tidak bisa tinggal diam. Kemungkinan besar pelaku kejahatan itu berhubungan dengan reinkarnasinya, jadi lebih cepat Alin tahu siapa orangnya, lebih baik. Dia berjalan kaki, memakai selendangnya untuk menyelubungi kepala dan tubuh supaya terlindung dari udara pagi kota Bandung yang dingin menggigit.

Sambil mencari petunjuk tentang pelaku penculikan akhir-akhir ini, Alin juga sekalian mencari pohon bunga sepatu. Kemarin Mahendra tidak sengaja terpeleset di kolam pemancingan, pulang dalam keadaan basah kuyup lalu malamnya demam. Setahu Alin, daun bunga sepatu bagus untuk mengobati demam dan panas tinggi. Setidaknya ini yang bisa dia lakukan untuk membalas kebaikan kakak beradik itu.

Entah Alin harus merasa lega atau kecewa, tidak ada yang tampak ganjil jam lima pagi di komplek perumahan ini. Cenderung sepi. Hanya ada beberapa orang kampung yang lewat membawa hasil perkebunan. Untung ketemu pohon bunga sepatu, setelah memetik beberapa daunnya Alin memutuskan kembali saja ke rumah Jenan.

"WHOAㅡ Alin? Heh, dari mana kamu?!"

Sama-sama terperanjat, Jenan langsung meluncurkan pertanyaan begitu gadis yang dicarinya muncul dari balik pagar. Dia sendiri baru saja keluar dari rumah dengan tergesa.

"Dari... luar. Cari iniㅡ pohon bunga sepatu," Alin menunjukkan keranjangnya yang berisi daun.

Jenan menghela napas lega, menatap gadis yang mengenakan baju tidur cokelat dan sandal jepit milik Mahendra yang super kebesaran. "Ngapain sih pergi subuh-subuh? Mana nggak bilang dulu..." ujarnya. "Bikin khawatir aja. Kalo diculik gimana?? Udah tau lagi musim culik!"

Alih-alih merasa bersalah, Alin tidak bisa menahan tawanya. Dia terkikik melihat Jenan ngomel-ngomel.

"Malah ketawa!" tukas Jenan.

"Bener kata Gue, kamu cerewet, suka ngomel lagi," ujar Alin. "Gue bilang, kalo kamu ngomel, pura-pura jadi kue cubit aja."

"Bener-bener udah terkontaminasi," Jenan berdecak. "Ayo masuk, nanti keburu ada tetangga yang liat!"

"Ngomong-ngomong, kue cubit itu makanan apa?" tanya Alin. Dia sering mendengar Mahe menyebut jenis kue itu tapi belum pernah menunjukkan bagaimana bentuknya.

"Ihㅡ tangannya dingin banget!" pekik Jenan saat bermaksud menarik Alin masuk rumah. Kedua tangannya kemudian berpindah mengapit wajah polos yang menatapnya bingung. "Pipinya juga dingin. Kamu pergi dari jam berapa sih? Cuma pake baju tidur sama selendang, dasar nekat."

"C-cuma sebentar," jawab Alin canggung. Telapak tangan Jenan terasa hangat di wajahnya.

"Aneh-aneh aja," Jenan berdecak untuk kedua kalinya.

Setelah melepaskan telapak tangannya, Jenan mendahului masuk ke dalam rumah. Alin memegangi dadanya, menarik napas dalam kemudian menghembuskannya lagi. Dia mengusir debaran berlebihan di jantungnya, melepas sandal kebesaran milik Mahendra yang ia pakai tiap keluar rumah, kemudian menyusul masuk ke dalam.

Terdengar suara dari dapur, tapi tidak ada siapa-siapa saat Alin sampai di sana. Hanya ada ceret di atas kompor yang menyala dan suara air dari kamar mandi ㅡmungkin Jenan di sana. Alin langsung mencuci kemudian menumbuk daun bunga sepatu yang ia bawa. Dengan obat ini demam Mahendra pasti akan lebih cepat sembuh.













You Who Came from the PastWhere stories live. Discover now