Bonus Chapter: I'm Glad My Mom Left

58 7 3
                                    

Notes: Ingat nggak di chapter It's a Mom, Mom, Mom's World, Athina pernah cerita ke Tristan kalau Mama pernah meninggalkan mereka berdua di mall? Well, aku membuat spinoff-nya. Happy reading! :)

Athina

Aku nggak pernah merasakan menjadi anak-anak. Tentu, waktu kecil aku pernah bermain bersama mainan dan boneka barbie-ku, tapi secara emosi, aku nggak pernah merasa menjadi anak-anak.

Di umur empat tahun aku belajar memahami kalau Papa dan Mama nggak bisa sering-sering menemaniku bermain karena sibuk menjaga Tristan yang baru lahir. Di umur delapan tahun, aku mengenyampingkan peralatan menggambarku untuk menemani adikku bermain karena Mama selalu beralasan sibuk sampai nggak bisa menyisikan sedikit waktu untuk menemani anak laki-lakinya.

Di umur sembilan tahun aku belajar mengeloni adikku tidur dan merawatnya ketika ia sakit karena Mama nggak mau berurusan sama muntah, bintil cacar, dan mencret. Di umur sepuluh tahun Mama meninggalkan kami dan aku harus membesarkan adikku dan menjaga Papa yang saat itu jatuh ke lubang depresi karena ditinggal istrinya.

Ya Tuhan, aku sangat membenci ibuku. Apalagi saat ia meninggalkan aku dan Tristan di mall berdua waktu aku masih tujuh tahun dan Tristan dua tahun.

Aku masih ingat waktu itu Sency masih punya Debenhams. Aku, Papa, Mama, dan Tristan yang lagi tidur di stroller, menemani Mama memilih baju pesta untuk ke nikahan sepupu Papa. Papa bilang ke Mama kalau ia harus buru-buru ke bank yang ada di lantai lima sebelum bank-nya tutup.

Aku ingat waktu itu menahan tangan Papa untuk jangan pergi karena aku malas ditinggal bareng Mama karena pasti AKU yang disuruh menjaga Tristan dan dia sibuk sendiri memilih-milih baju.

"Papa mau ke mana? Papa jangan pergi."

"Papa mau ke bank sebentar ya, Sayang. Tina sama Tristan sama Mama dulu, ya." Papa menjawil pundak Mama. "Med." Beliau menunjuk aku dan Tristan dengan dagunya. "Jagain dong anaknya. Jangan sibuk sendiri."

"Iya, iya. Lagian Tina mah nggak perlu dijagain. Kan anak pintar. Ya kan, Sayang?" Mama hendak mengelus kepalaku tapi aku menghindarinya. Ibuku menggedikkan bahunya dengan tak acuh dan kembali memilih-milih baju. "Sana, kamu ke bank sebelum tutup. Aku mau pilihin baju buat aku sama Tina dulu."

Bilangnya sih memilih baju untukku juga, tapi daritadi kami sibuk mutar-mutar satu lantai untuk melihat-lihat dress untuknya. Dan benar kan, AKU yang disuruh mendorong stroller Tristan yang setinggi badanku, sedangkan Mama sibuk memilih dress dan bolak-balik di ruang ganti.

"Ma, capek." Aku menarik-narik baju Mama. "Bosen. Haus. Pingin duduk."

"Ya, duduk aja di situ. Kan, ada tempat duduk." Mama mengibaskan asal tangannya ke tempat duduk tak kasat mata yang kayaknya hanya bisa dilihat pakai matanya, deh. "Mama masih belanja, Tina. Kamu main aja sama Tristan."

"Tristan lagi tidur!"

"Sebentar lagi juga dia bangun."

Terus kalau dia bangun, aku jadi punya teman, gitu? Mama tahu nggak sih kalau Tristan saat itu masih dua tahun dan hanya bisa ngomong dua sampai tiga kata?

"Aku mau sama Papa."

"Papa lagi di bank. Kamu tahu memangnya bank itu di mana?"

"Mama antarin aku ke Papa."

"Nggak bisa, Tina. Kamu nggak lihat Mama lagi sibuk?" Mama menunjukkan dua dress warna merah di kedua tangannya. "Jangan rewel deh kamu. Kalau kamu bakal resek kayak gini, dari awal aja sanah sama Papa ke bank."

Mana aku tahu kalau ikutan Papa ke bank itu bisa menjadi opsi! Harusnya Mama yang adalah orang dewasa, mendengarkanku dan memperhatikan kebutuhanku! Kenapa aku yang harus mengalah dan mengerti terus sama keinginannya!

Farewell, Neverland!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang