All About My (Teen) Father

180 20 9
                                    


Tristan

Bokap gue menjadi orang tua di usia 17 tahun. Harusnya, saat itu, seperti teman-temannya yang baru lulus SMA, bokap bisa menikmati masa mudanya dan mendapatkan kebebasan sepenuhnya menjadi mahasiswa baru yang idealis di kampus impiannya, Universitas Dewangga di Bali, salah satu universitas terbaik di negeri ini, mencoba banyak hal baru dan melakukan banyak kesalahan yang akan ia tertawai di masa tua nanti.

Tapi kenyataannya, bokap nggak boleh melakukan kesalahan.

Karena sekalinya melakukan kesalahan, bokap dan nyokap yang baru pacaran beberapa bulan di bangku sekolah, having sex di hari kelulusan SMA dan dua bulan kemudian, nyokap mendatanginya dan menghadiahinya dengan sebuah test pack yang menonjok keduanya tepat di ulu hati.

Nggak ada tuh yang namanya tinggal di Bali bareng, nggak ada ikut-ikutan unit kegiatan mahasiswa, berpesta di akhir pekan, main di pantai sampai kulit gosong, ikutan les berkuda di Canggu, ataupun sering-sering trekking di Ubud. Keduanya harus melepaskan spot mereka di Dewangga agar bisa tinggal dekat dengan orang tua mereka yang akan menemani dan mengajari mereka caranya jadi orang tua muda.

Setelah menikah, mereka berkuliah di Universitas Preston, sebuah universitas swasta di Jakarta yang dari dulu berusaha banget meningkatkan gengsi dan akreditasi mereka, supaya bisa ikut-ikutan digadang-gadang sebagai salah satu dari kampus Ivy League-nya Indonesia. Padahal semua orang juga tahu kali kalau the real kampus Ivy League di Indonesia itu hanya tiga; Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, dan Universitas Dewangga. 

Sambil kuliah di jurusan bisnis, untuk menafkahi keluarga kecilnya, bokap bekerja sebagai agen asuransi dan membangun kariernya dari sana hingga sekarang telah menjadi business partner dengan pendapatan miliyaran per bulan. Dari pendapatan yang lebih dari cukup tersebut, bokap membangun bisnis-bisnis lainnya yang telah menggurita ke mana-mana. Gue sampai nggak tahu bisnis bokap ada berapa dan apa saja, pokoknya yang paling baru tuh ia sedang menjajal bisnis liquid vapor yang lagi menjamur.

Sementara untuk nyokap, gue nggak tahu banyak tentang beliau karena topik nyokap jarang disinggung-singgung di rumah. Yang gue tahu adalah, bokap dan nyokap bercerai waktu gue umur 6 tahun. Jadi gue pun nggak punya banyak kenangan tentangnya selain kegiatan kami yang suka memberi makan bebek di kolam dekat rumah Opa, bokapnya bokap. Sebelum bokap bisa beli rumah sendiri, kami numpang di rumahnya Opa di daerah Menteng.

Gue hanya bisa mengingat wajah nyokap samar-samar karena bokap membuang semua foto-foto nyokap dari tiap album foto. Kayaknya bokap sesakit hati itu sama nyokap hingga nggak ingin anak-anaknya ingat mereka pernah punya ibu sama sekali. Bahkan foto gue waktu masih balita yang sedang digendong nyokap pun, digunting sama bokap hingga kepala nyokap buntung. 

Waktu gue masih kecil, tiap kali gue bertanya nyokap pergi ke mana, bokap pasti pura-pura nggak dengar dan mengalihkan pembicaraan, tapi once in a blue moon, saat dia sendiri sudah capek mendengar rengekan Tristan-wants-mommy gue yang bikin gendang telinga pecah, ia akan melempar tempat tisu ke arah gue dan mengancam, "Mama kabur ke Bali. Nggak akan balik lagi. Berhenti nangis atau Papa kasih kamu ke orang gila!"

Habis nyokap pergi, Opa, yang belum lama itu ditinggal sama Popo untuk selamanya, membantu bokap merawat dua anaknya yang masih kecil-kecil. Tina waktu itu masih umur 10 tahun dan gue 6 tahun. Opa yang datang untuk mengambil rapot kami ketika bokap sibuk, mengajak kami jalan-jalan di akhir pekan, dan mengajarkan gue dan Tina naik sepeda sampai nyetir mobil. Opa juga sering banget diam-diam menaruh Choco Pie di atas paha gue sebagai sogokan saat gue dipaksa menghabiskan sepiring salad sama bokap, sampai mendamaikan gue dan bokap tiap kali kami berantem.

In many ways, he's more like a father to me than my father ever was. Makanya gue dan Tina nempel banget sama Opa.

Habis urusan dengan kepala sekolah selesai, Tina balik ke kampus untuk lanjut kuliah. Jarak SMA Preston dan Universitas Preston hanya sepuluh menit, jadi ia masih sempat mengikuti kelas siang. Gue kembali ke kelas dan mengikuti pelajaran sampai selesai, nongkrong di kafetaria sampai agak sore, lalu meminta Pak Kus, sopir gue—meski sudah besar, gue masih dianter-jemput ke sekolah karena bokap nggak mempercayakan gue membawa mobil sendiri di hari biasa, takut gue kelayapan, katanya—mengantar gue ke klub untuk menjemput Opa.

Farewell, Neverland!Where stories live. Discover now