Bonus Chapter: The Tortured Dads Department

44 6 0
                                    

Author's Notes: Minggu ini absen upload lanjutan Farewell, Neverland! dulu, ya. Sebagai gantinya, aku pingin ceritain kalian cerita pendek tentang hubungan Tristan dan Papa. Latar waktunya waktu Tristan baru banget naik grade 12. Enjoy! :) 

Tristan

Sebisa mungkin gue berusaha untuk nggak berurusan sama bokap karena again, siapa sih yang pingin berurusan sama dia, kecuali Tina? Opa saja yang adalah orang tuanya bokap pun suka segan sama anaknya sendiri dan lebih dekat sama cucu-cucunya. Jadi sebagian besar waktu, gue pasti menghindarinya kecuali saat kami makan malam berempat di rumah. Itu pun ada Tina dan Opa yang akan melindungi gue dari bokap. Makanya saat gue turun ke ruang makan dan nggak menemukan sosok kakek dan kakak gue di meja, antena di kepala gue langsung memanjang dan berbunyi dengan waspada.

"Tina sama Opa di mana, Pa?"

Bokap melipat koran yang sedang ia baca dan menaruhnya di atas kursi yang biasanya diduduki anak perempuannya. "Tina tadi ngabarin kalau dia akan pulang telat karena mau nugas. Opa bilang pingin makan malam di klub sama teman-temannya."

Yah, mampus. Alamat gue harus makan malam berdua sama si Mr Killjoy. Tahu gini mah lebih baik sepulang sekolah tadi gue ikutan main sama Kafka dan pulang malam sekalian! "Oh, gitu. Eh, aku baru ingat aku juga ada tugas. Aku makan di—"

"Duduk, Tristan."

"Yes, Sir." Gue menarik kursi langganan Opa yang berada di seberang kursi bokap supaya gue nggak perlu duduk di sebelahnya. "Makan malam hari ini apa, Pa?"

"Sop buntut."

"Kalau aku makan buntutnya aja, nggak pakai sopnya boleh?"

"Nggak."

"Kalau aku makan kuahnya aja pakai nasi sama kerupuk boleh?"

"Nggak."

"Kalau aku—"

"Kamu boleh makan nasi pakai buntutnya aja, tapi minumnya jus pare campur seledri. Mau?"

"Makasih banget tawarannya." Gue mengambil sendok yang Mbok Sum sediakan di sebelah piring dan mulai memain-mainkannya. "Papa tumben sebelum jam 7 udah di rumah. Kerjaan lagi nggak banyak, Pa?"

"Yah, lumayan." Beliau melepas kacamata bacanya dan menaruhnya di sebelah piring makan. "Kamu gimana di sekolah? Nggak bikin masalah, kan?"

"Nggak, Pa."

"Nilai bagus?"

"Nggak ada yang di bawah 80."

"Good. Universitas Preston pasti senang menerima kamu tahun depan." Bokap lalu bergumam sendiri. "Harus. Setelah semua uang yang Papa gelontorkan untuk mereka."

Sayangnya uang Papa itu nggak akan balik modal karena tahun depan aku nggak akan kuliah di Preston, melainkan di Universitas Dewangga di Bali. "Yeah.... Pa, soal kuliah di Preston lagi...."

Bokap menggelengkan kepalanya sedikit dengan ekspresi jangan mulai melempar api di sini karena sekarang lagi nggak ada Opa dan Tina yang akan melerai kita.

Tapi kalau kami nggak berdebat, terus kami ngapain, dong? Ngobrol? Gue nggak ingat kapan terakhir ngajak ngobrol bokap gue, itu pun jika pernah.

Mbok Sum menghidangkan makan malam di meja. Biasanya Tina akan berinisiatif untuk mengambilkan nasi dan lauk ke piring kami semua, karena sekarang nggak ada dia, gue nggak tahu apakah gue harus melakukan hal yang sama ke bokap atau bokap yang akan berinisiatif melakukan itu untuk gue.

Yang ada kami sama-sama awkward saat mengambil sendok nasi bersamaan dan makin awkward pula saat saling menuangkan sop ke mangkuk satu sama lain kayak ih kita ngapain sih, Pa? Kenapa nggak kita menuangkan makanan ke mangkuk sendiri-sendiri aja? Kenapa aku nuangin sop buat Papa, terus Papa nuangin buat aku?

Farewell, Neverland!Where stories live. Discover now