Wattpad Original
There are 4 more free parts

11. Diabetes

22.8K 3.8K 40
                                    

Kulihat jam di dinding ruang tunggu telah menunjukkan pukul lima lewat lima belas menit. Memang sih batas keterlambatan penjemputan itu sampai pukul setengah enam sore, tapi tetap saja Mas Dirham terlambat datang menjemput Oca. Apa aku ajak Oca pulang bareng sama aku aja ya? Toh rumah kami bersebelahan, tapi kalau aku gak salah tadi kan Mas Dirham bilang sore ini mau antar mamanya pulang ke Tangerang. Kalau begitu harusnya dia jemput Oca dulu kan baru pergi ke Tangerang sama Oca dan mamanya? Ck, aku gak tahu lagi sore yang dia maksud tuh jam berapa sih sebenarnya?

Kuambil ponselku dari saku celana seragamku dengan harapan ada kabar dari Mas Dirham tapi ternyata sejauh ini masih nihil. Apa aku telepon Mas Dirham saja ya? Tapi aku kan belum pernah menelepon Mas Dirham sebelumnya. Ah, ya sudahlah mau bagaimana lagi? Kasihan Oca juga kalau kelamaan dijemputnya apalagi ini baru hari pertamanya di sini. Rasanya pasti masih sangat canggung berada di lingkungan yang belum pernah ia datangi sebelumnya.

Mengatur napas sejenak, aku pun mulai mencari kontak Mas Dirham di ponselku lalu menghubunginya.

"Halo, Dinar."

Wah, diangkat!

"Mas Dirham, maaf ganggu. Ini saya mau ngabarin kalau sudah waktunya Oca untuk dijemput," kataku setelah sebelumnya berdehem pelan sebagai pemanasan pita suaraku agar tidak terdengar gugup.

"Iya, Dinar, ini saya lagi menuju ke sana kok. Tolong tunggu sebentar lagi ya."

"Oh gitu." Hmm, ngomong apa lagi ya? Gak ada yang bisa aku bahas gitu ya buat manjang-manjangin obrolan? Aish! Mikir apa sih aku ini?! "Ya sudah, Mas, saya tutup dulu ya," kataku kemudian.

"Iya, maaf merepotkan ya, Dinar."

Aku menutup sambungan telepon setelah mengatakan tidak apa-apa pada Mas Dirham. Gak apa, baru pertama kali wajar aja kalau singkat. Aku mencoba menghibur diriku sendiri.

Kulirik Oca yang hanya duduk diam saja di sebelahku. Ini anak betah banget diam ya ampun. Satu-satunya yang bergerak sejak tadi hanyalah kelopak matanya yang berkedip.

"Oca, papa kamu sudah lagi di jalan ke sini. Oca bosan gak? Mau tunggu di ruang bermain?" tawarku.

Gadis kecil itu menatapku kemudian menggeleng pelan. Setelahnya, ia kembali memalingkan wajahnya lagi. Ya ampun, Ca, gak takut kesambet apa ya bengong mulu?

"Ehm, gimana perasaan Oca hari ini selama di sini?" tanyaku. Daripada dia bengong kayaknya lebih baik aku ajak ngomong deh.

Oca menoleh lagi ke arahku. "Perasaan?" tanyanya balik.

Aku mengangguk mengiyakan, tapi setelahnya Oca malah diam. Apa pertanyaanku terlalu sulit untuk anak umur enam tahun ya? "Maksud Miss, Oca suka gak di sini? Tadi gimana main sama teman-teman?" tanyaku lagi meralat kalimatku sebelumnya agar lebih mudah dipahami Oca. Sepertinya kalau kutanyakan soal perasaan memang terlalu kompleks. Jangankan anak-anak, orang dewasa saja kadang tak bisa menjelaskan perasaannya.

"Teman-teman? Mereka temanku?" tanya Oca lagi.

Aku menganggukkan kepalaku. "Iya," sahutku.

"Aku boleh punya teman?"

Heh? Gimana maksudnya? "Kok─"

"Permisi."

Aku menoleh ke arah pintu lalu refleks berdiri menyambut kedatangan Mas Dirham. Mas Dirham yang melihatku bersama Oca pun melempar senyum sebelum menghampiri kami.

"Maaf telat ya, sayang. Tadi isi bensin dulu," katanya yang tentu saja bukan padaku dong melainkan pada putrinya.

Aku ikut menatap Oca dan gadis kecil itu pun hanya mengangguk. Ini masih menjadi misteri buatku juga. Aku bisa mengerti kalau Oca sulit tersenyum dengan orang lain karena mungkin ia malu atau masih merasa asing, tapi kenapa dengan papanya sendiri pun ia tetap seperti itu ya?

"Dinar, terima kasih ya. Maaf nunggunya jadi agak lama tadi saya isi bensin dulu dan lumayan antre di sana," ujar Mas Dirham padaku.

Aku mengangguk mengerti, "Iya, gak apa-apa, Mas."

"Mau saya antar pulangnya?" tanyanya membuatku sedikit terkejut.

"Eh? Bukannya Mas mau antar mamanya pulang ke Tangerang?"

"Ini saya baru balik dari sana. Tadi jam setengah tiga sore perginya."

Ooh, sudah pulang ternyata. Kukira baru mau pergi.

"Yuk, mau bareng?" ajaknya lagi.

Aku menggelengkan kepalaku menolak ajakannya. "Makasih tapi saya bawa motor, Mas. Lagipula masih ada kerjaan yang harus diselesaikan." Kerjaan sih sebenarnya sudah gak ada. Paling ya rapat kecil-kecilan sama rekan-rekanku, evaluasi seputar hari ini plus diskusi untuk hari esok.

"Hm ya sudah. Oh iya hari ini Oca giman─" Mas Dirham berhenti melanjutkan kalimatnya karena tiba-tiba ia menguap. Pria itu lantas segera menutup mulutnya dengan sebelah telapak tangannya. "Maaf, maaf, jadi gak sopan nih saya," lanjutnya kemudian. Aku hanya tersenyum memaklumi. Memang sih menguap di hadapan lawan bicara itu agak kurang sopan, tapi aku bisa memakluminya karena Mas Dirham kelihatannya lagi capek banget.

"Jadi, gimana hari pertama Oca di sini?" tanya Mas Dirham lagi.

Sebenarnya tadinya aku mau mendiskusikan soal Oca yang histeris karena rambutnya disentuh, tapi melihat Mas Dirham yang sudah selelah itu rasanya gak memungkinkan deh kalau kuajak bicara sekarang. Takutnya pembahasan ini akan jadi panjang dan Mas Dirham tambah mengantuk lalu gak ada energi buat nyetir pulang. Wah, malah bisa jadi bahaya kalau begitu. Mungkin lain kali saja aku bicarakan soal ini.

"Hmm, hari ini baik-baik aja kok, Mas. Paling kayaknya Oca agak pemalu aja, but it's okay karakter anak kan beda-beda," jawabku yang memilih untuk tidak memberi tahu Mas Dirham soal kejadian histeris Oca tadi.

Mas Dirham mengangguk. "Ya sudah kalau gitu makasih banyak ya, Dinar. Oh, iya, ini buat kamu," katanya yang kemudian memberikanku sesuatu dari tangan kanannya yang sejak tadi ia taruh di belakangku.

"Apa nih, Mas?" tanyaku seraya menerima bingkisan itu.

"Sedikit oleh-oleh buat mengembalikan tenaga kamu hari ini," jawabnya. Ya ampun, Mas, dari Tangerang aja segala pakai bawa oleh-oleh. Udah kayak pulang umrah aja deh.

"Makasih, Mas, jadi ngerepotin nih," ujarku.

Mas Dirham tersenyum dan mengangguk. "Sama-sama, ya udah saya pulang duluan ya," pamitnya yang kemudian menyuruh Oca berpamitan padaku juga.

"Iya, hati-hati di jalan ya." Aku kemudian menemani mereka sampai di pintu keluar dan melambaikan tangan saat keduanya memasuki mobil.

Begitu keduanya pergi, aku kembali duduk dan membuka isi box dari dalam goodie bag yang Mas Dirham berikan. Rupanya ia memberikanku brownies panggang dengan topping almond di atasnya.

Ya ampun gimana ini? Udah orangnya manis, sikapnya manis, pakai ngasih makanan manis segala pula. Apa gak diabetes aku kalau begini caranya?

***

Kepingan DirhamWhere stories live. Discover now