Wattpad Original
There are 7 more free parts

8. I Must Ready

22K 3.7K 43
                                    

Aku masih mencoba mengumpulkan sisa kesadaranku saat gadis kecil di hadapanku itu akhirnya mengulurkan tangannya untuk menyalamiku. Dengan tetap memasang senyum, aku pun menyambut uluran tangannya.

Ayo profesional dong, Dinar! batinku mengingatkan.

"Halo, selamat datang, Oca. Kenalin nama Miss 'Miss Dinar'."

Aku menyapanya sama seperti aku menyapa anak-anak lainnya pada saat pertama bertemu meski kali ini perasaan di hatiku tak sama.

"Dinar, ini Oca putri saya satu-satunya," terang Mas Dirham lagi yang semakin memperjelas semuanya bahwa mereka adalah ayah dan anak. Ya Tuhan, padahal di sini gak lagi hujan tapi kenapa suara Mas Dirham terdengar seperti guntur di telingaku?

Aku jadi teringat pertanyaan Papa malam lalu.

"Kok kamu gak kaget, Din? Papa aja tadi kaget loh pas Dirham kasih tahu."

Sekarang aku baru mengerti apa maksud Papa. Bodohnya aku saat itu mengira bahwa dua orang perempuan yang bersama Mas Dirham adalah ibu dan anak, padahal maksud Papa mereka adalah ibunya Mas Dirham dan anaknya Mas Dirham. Aku rasanya ingin menjitak kepalaku sendiri atas kelambananku dalam berpikir malam itu.

"Dinar, saya akan mendaftarkan Oca ke daycare ini tapi sebelumnya boleh saya bicara sama kamu sebentar?"

Dengan berat hati aku menganggukkan kepalaku dan mengajaknya bicara di luar. Bukannya aku seketika jadi tak suka atau membenci Mas Dirham, hanya saja ada perasaan malu dalam diriku saat melihat Mas Dirham sekarang. Lebih tepatnya malu yang dibuat oleh diriku sendiri karena bisa-bisanya punya harapan kalau Mas Dirham masih single dan ada kesempatan bagiku untuk dekat dengannya. Padahal sekarang kenyataannya Mas Dirham adalah seorang ayah. Kalau begitu artinya ia sudah menikah kan? Ya Tuhan, bisa-bisanya aku menyukai suami orang?!

"Jadi, ada apa, Mas?" tanyaku saat kami sudah keluar dari ruang tunggu.

Mas Dirham berdehem sejenak sebelum menjawab pertanyaanku. "Dinar, saya titip Oca ya." ucapnya pelan.

Ya... ya kan ini memang tempat penitipan anak, Mas. "Iya," sahutku.

"Tadinya saya bingung harus bagaimana. Saya gak mungkin terus-terusan menitipkan Oca pada Mama, tapi saya juga was-was kalau Oca ditinggal di rumah dengan pengasuh. Untungnya saya bertemu kamu jadi saya tahu adanya daycare ini. Karena di sini ada kamu, saya bisa lebih tenang jika Oca di sini."

Tapi aku yang gak tenang, Mas!

Rasanya aku ingin menyahut begitu tapi bibirku tentu saja tidak akan melakukannya. Ia hanya tetap tersenyum dan membiarkan suara hati itu tetap berada di dalam hati saja.

Sungguh, aku bukannya bermaksud ingin menjauhi Mas Dirham, tapi pernah gak sih kalian merasa malu pada diri kalian sendiri hingga kalian bahkan tak bisa berhadapan dengan orang lain? Itu yang aku rasakan sekarang. Bodohnya aku sempat berpikir kalau Mas Dirham mungkin juga tertarik padaku karena ia kerap bertanya tentang diriku, tapi sekarang aku sadar rupanya Mas Dirham hanya berusaha mencari info akan tempat kerjaku untuk menitipkan anaknya.

Ah, entahlah. Walau bukan sepenuhnya salahku sendiri, tapi aku merasa malu tiap kali mengingat kalau aku sempat senaksir itu sama Mas Dirham. Dia suami orang ternyata! Boro-boro mau jadi pelakor yang dengan percaya dirinya merebut suami orang, lihat dia sama anaknya saja hatiku langsung ciut.

"Besok saya sudah mulai kembali bekerja dan sore ini rencananya saya akan mengantar Mama saya pulang ke Tangerang. Dinar, saya minta tolong jaga Oca ya. Oca itu─"

"Mas, maaf, tapi saya gak bisa lama-lama di luar karena ini masih jam kerja. Soal Oca, Mas tenang saja. Di sini ada banyak caregiver dan teacher yang siap mendampingi anak-anak jadi insyaAllah Oca akan aman dan nyaman di sini. Kalau memang Mas mau daftar, Mas bisa langsung urus administrasinya. Nanti soal peraturan dan lain sebagainya dijelaskan sama admin." Aku tahu aku tidak sopan memotong pembicaraannya, tapi ... aku juga gak bisa berlama-lama dengannya di sini.

Mas Dirham terlihat sedikit terkejut melihat sikapku yang bak diburu-buru waktu, tapi untunglah Mas Dirham tidak mempermasalahkannya. Ia mengangguk dan malah meminta maaf karena mengganggu waktu kerjaku.

"Shif, ini fix daftar. Tolong dibantu urusan administrasinya ya. Gue mau ke toilet dulu," ujarku pada Shifa saat aku dan Mas Dirham telah kembali masuk ke dalam.

Aku rasa Shifa bisa mengerti keadaanku, saat ini karena dari sorot matanya ia menatapku dengan prihatin sebelum kemudian mengangguk dan membiarkanku ke toilet selagi ia memandu Mas Dirham untuk melakukan proses pendaftaran.

Di dalam salah satu bilik toilet khusus pegawai, aku menghela napas berat. Ini konyol. Aku bahkan belum memulai apa-apa tapi kenapa terasa seperti telah berakhir? Padahal memang tidak pernah ada hubungan di antara aku dan Mas Dirham, tapi kenapa rasanya seperti aku baru saja dicampakkan?

Aku menggeleng dan tersenyum lirih dengan hati pedih. Kadang aku gak habis pikir kenapa perasaan seperti ini ada di dunia? Bisa-bisanya aku merasa melepaskan sesuatu yang padahal tidak pernah kumiliki. Gini nih akibatnya kalau berharap pada manusia, pasti ada saja kecewanya.

Meneguk saliva sesaat dengan batin yang terus mensugesti diri ini agar tetap profesional, aku keluar dari dalam toilet. Suka tidak suka, terima tidak terima, aku harus siap. Memangnya kalau aku sembunyi akan mengubah keadaan dan menjadikan Mas Dirham single lagi sehingga bisa kumiliki? Tentu saja tidak. Jadi, ayo kita hadapi!

***

Kepingan DirhamWhere stories live. Discover now