Wattpad Original
There are 5 more free parts

10. Kenapa Bisa?

23.1K 3.8K 34
                                    

Aku memilih untuk melihat Oca terlebih dulu sebelum nantinya membuat keputusan untuk menjadi pendamping khususnya atau tidak. Kulihat di ruang bermain tidak ada Oca di tengah-tengah anak-anak lainnya yang masih menonton. Kalau begitu, berarti kemungkinan Oca masih di ruang periksa ya?

Kulangkahkan kakiku menuju ruang periksa, tapi saat berjalan ke sana samar-samar aku mendengar suara teriakan meski suaranya tidak begitu keras seperti sound dari film yang tengah diputar di ruang bermain. Aku lantas mempercepat langkahku dan betapa terkejutnya aku saat aku membuka pintu dan disuguhkan dengan pemandangan Oca histeris di sudut ruangan sementara Saras beserta Dokter Vindy dan Dokter Rasyad mencoba menenangkannya dari jarak beberapa meter tempat Oca berdiri sebab gadis kecil itu menggenggam gelas kaca dan terlihat akan melemparnya.

Aku lantas menutup pintu agar suara keributan ini tidak memancing semakin banyak orang datang dan buru-buru menghampiri Saras. "Ras, ini kenapa?" tanyaku padanya.

"Gak tahu, Din, Oca tiba-tiba histeris waktu Dokter Vindy periksa dia."

Aku menatap Oca yang terus berteriak menyuruh kami keluar menjauhinya.

"Saras, Dokter Vindy, Dokter Rasyad tolong keluar dulu ya, dan saya minta tolong jangan ada yang tahu soal ini."

"Din, kamu yakin?" tanya Dokter Vindy dan aku mengangguk.

Setelah saling berpandangan sesaat, Dokter Vindy, Dokter Rasyad, dan Saras pun akhirnya mau keluar.

Aku berjongkok dengan jarak sekian meter dari hadapan Oca begitu hanya tinggal kami berdua di ruangan ini. "Oca, ini Miss Dinar. Teman Papa kamu. Miss boleh di sini?" tanyaku. Sengaja kubawa nama papanya agar Oca ingat kalau papanya sendiri yang tadi mengenalkanku sebagai temannya. Semoga saja dengan cara ini Oca tidak terlalu merasa asing denganku. Apalagi sebelumnya juga kami pernah bertemu saat Oca keluar dari rumah Mas Dirham dengan neneknya.

Oca tidak langsung menjawab pertanyaanku, gadis kecil itu malah perlahan meluruhkan tubuhnya ke lantai. Biarlah ia mengabaikanku, setidaknya ia berhenti berteriak. Aku kemudian menggeser posisiku dan ikut duduk bersandar dengan dinding agar bisa bersebelahan dengan Oca meski masih dengan menjaga jarak.

"Oca kenapa, sayang? Gak mau diperiksa sama dokter kah? Atau tadi pas dokter periksa ada yang sakit?" tanyaku lagi.

Gadis kecil itu masih juga enggan menjawab pertanyaanku. Ia tetap bungkam sambil mengatur deru napasnya. Aku pun juga memilih diam untuk membiarkannya mengatur emosinya lebih dulu.

"Kalau Oca gak mau bilang sama Miss sekarang gak apa-apa, Oca bisa cerita ke Papa aja nanti. Tapi sekarang kita siap-siap buat makan yuk? Sebentar lagi waktunya makan siang. Oca mau makan di ruangan ini?"

Oca akhirnya mau mengangkat kepalanya dan melihat ke arahku. Kuperhatikan tangannya perlahan melepaskan gelas dalam genggamannya dan meletakkannya di lantai.

"Aku gak mau..." ucapnya dengan sangat lirih.

"Gak mau? Gak mau apa? Gak mau makan di sini?" tanyaku.

"Aku gak mau dikuncir. Aku gak mau rambutku dipegang," ujarnya kali ini dengan suara yang jelas. Tapi entah kenapa alih-alih terdengar sebagai sebuah protes, nada bicaranya Oca justru terdengar seperti orang yang ketakutan. Jadi dia sampai histeris seperti tadi karena tak mau rambutnya disentuh?

Kalau aku ingat-ingat lagi dari awal melihat Oca di rumah Mas Dirham, rambut Oca memang selalu digerai. Helaian rambut panjangnya yang berombak menjuntai bahkan hampir menutupi sebagian pipinya karena ia tak menyelipkannya ke belakang telinga. Belum lagi ditambah dengan poni yang menutupi dahinya. Kalau dilihat dari depan, muka Oca nampak kecil karena banyak bagian dari wajahnya yang tertutupi rambut. Kenapa Oca sampai seperti itu tak ingin rambutnya disentuh ya? Tapi aku juga jadi curiga, mana yang sebenarnya tak disukai olehnya? Rambutnya dikuncir atau wajahnya yang jadi terlihat lebih jelas jika rambutnya diikat?

Kepingan DirhamWhere stories live. Discover now