A Wonderful Awful Idea

820 93 34
                                    


Andra


"Hari ini lo latihan basket sampai jam 5 sore kan, Ien?" Gue menyemprotkan Banana Boat Sunscreen Spray SPF 50 ke seluruh wajah Shaien, lalu ke lengan dan kakinya yang terbuka. "Pulangnya ke Samsara, yuk. Alindra ada ujian Matematika besok. Kalau lo lagi nggak ada tugas, mau temenin dia belajar, nggak? Ntar sekalian nginep aja. Toh, besok weekend."

"Gampang, lah." Shaien menepuk-nepuk kulitnya agar sunscreen-nya lebih cepat menyerap. "Eh, tapi besok gue nggak bisa nemenin lo cari makan di Glodok, Ndra. Bokap minta ditemenin golf. Jadi palingan besok pagi gue langsung cabut. Nggak apa-apa, kan?"

"Gampang, lah." Gue memberikan Pulpy Orange untuknya dari dalam totebag. "Nih, biar lebih semangat latihannya."

"Wih, thanks!" Shaien menerimanya, lalu mengocok-ngocok minuman tersebut sampai bulirnya merata. "Semangat latihan nih gue kalau ada lo. Tapi kalau nggak bawa Pulpy, mending lo cabut, deh. Buang-buang oksigen."

Gue ketawa. Jangan bilang-bilang, ya, tapi menemani Shaien latihan basket adalah kegiatan favorit gue selain menjadi plus one-nya di pesta pernikahan.

Gue suka duduk di undakan pinggir lapangan Fakultas Teknik, menjaga barang-barang Shaien selagi cowok itu memimpin tim basket Fakultas Teknik UI berlatih untuk pertandingan Olimpiade UI mendatang. Cowok jangkung itu kan jarang banget memposisikan diri sebagai leader. Ia biasanya selalu ngikut saja oleh semua keputusan yang diberikan untuknya. Makanya, menyemangatinya sebagai kapten sebuah tim adalah cara yang tepat untuk mendorong jiwa kepimpinannya.

Tapi kalau gue boleh memilih, bagian terbaik dari menemaninya latihan basket bukan itu, melainkan mengambil peran yang biasanya diperankan oleh seorang pacar. Sama seperti saat menjadi plus one-nya untuk datang ke pesta pernikahan.

Gue suka saat beberapa pasang mata memperhatikan gue saat sedang duduk bersama Shaien. Tatapan heran mereka pasti bertanya-tanya; Siapa cewek itu? Gue sering melihatnya makan berdua Shaien di Kantek. Apa mereka pacaran? Sejak kapan? Walaupun mungkin mereka belum tentu peduli dengan hubungan gue dan Shaien, tapi seenggaknya, di kepala gue, mereka memang bertanya seperti itu.

"Waktu Arjuna belum lulus, dia suka nemenin gue latihan dari sana." Shaien menunjuk salah satu tempat duduk di Kantek Dalam yang mengarah langsung ke lapangan basket. "Sebenarnya bisa aja dia duduk di tempat lo sekarang, tapi pasti bakal banyak yang curiga. Secara dulu Juna yang megang Teknik. Dia masuk Kantek aja semua nengok, apalagi kalau tiba-tiba dia nemenin gue latihan basket. Yang ada semua orang langsung tahu kalau kami pacaran."

"Setiap datang ke nikahan alumni-alumni Arsi juga begitu. Kami masuk ke gedung sendiri-sendiri dengan jarak waktu yang udah ditentuin, supaya orang lain nggak tahu kalau kami datang bareng. Acara pernikahan kan milik straight couple." Cowok itu ketawa miris. "The perks of being gay In Indonesia."

Gue nggak pernah menemukan respons yang tepat setiap Shaien bercerita tentang luka-liku hidup sebagai homoseksual di negara homophobic ini. Memang gue bisa merespons apa? Bilang kalau gue mengerti? Yang ada malah terdengar seperti meremehkan ceritanya. Dengan keistimewaan yang gue miliki sebagai perempuan heteroseksual, gue nggak akan pernah mengerti masalah yang harus ia hadapi setiap hari.

Kalau gue bisa menukar setengah nyawa gue agar hidupnya lebih mudah, gue pasti akan melakukannya. Tapi gue nggak bisa. Jadi yang bisa gue lakukan hanya merangkul lengannya untuk memberitahu kalau ia nggak sendirian.

"Tapi semua itu sepadan, kan? Bahkan walau Arjuna jauh di New York sekarang. Pacaran serbasembunyi itu sepadan kan, Ien?"

"Arjuna yang bikin semuanya sepadan." Raut wajahnya menghidup. Seberapa keras gue membuat Shaien tertawa, gue nggak akan bisa membuatnya sehidup saat membicarakan Arjuna. "Gue pingin banget sekali aja Arjuna duduk di sini, nemenin gue latihan basket. Atau jalan bareng gue di nikahan orang. Gue pingin nunjukkin kalau gue bangga jadi pacarnya. Tapi semua itu harus ngalah demi keselamatan kami. Dunia udah biasa ngelihat gue dan Arjuna hidup di bayang-bawang, so we must have to stay that way."

Witching HeartsWhere stories live. Discover now