Prolog

319 33 4
                                    

Sebuah Toyota Camry berwarna hitam melaju kencang dengan kecepatan diatas 100 km per jam. Diantara kondisi jalan yang licin akibat hujan gerimis yang turun selepas salju tadi malam. Hal itu jelas berbahaya.

Tapi Sehun, pria yang berada di dalam mobil itu tidak peduli. Ia hanya peduli akan kemungkinan bahwa dia bisa kembali melihat wajah gadisnya lagi atau tidak. Hanya itu yang ada di otaknya.

Sehun pikir bahwa dia takkan mampu memaafkan dirinya sendiri jika membiarkan gadis itu pergi.

Di pinggir-pinggir jalan, terlihat beberapa bongkahan es yang masih tersisa. Musim dingin kali ini benar-benar mengerikan. Salju yang turun bahkan hampir mencapai enam puluh senti.

Belum lagi hujan es yang turun beberapa kali membuat angin terasa menggigit saat menyentuh bagian tubuh.

Andaikan Sehun menyadari perasaannya lebih awal. Seandainya ia tidak salah mengartikan perasaan yang ia punya. Semua ini takkan terjadi.

Pria itu menginjak pedal gas mobilnya, sehingga kecepatan mobil itu semakin tak terkendali saat ia melihat papan lalu lintas yang menunjukkan bahwa bandara internasional Incheon masih 2 km lagi. Ia tidak boleh terlambat atau dirinya akan kehilangan gadis itu selamanya.

Di sela rasa gelisah yang menerpanya. Ponsel sialan yang berada di dasbor mobil itu berbunyi memecah konsentrasi. Pada layarnya menunjukkan siapa pengganggu itu. Sehun tidak tau lagi apa yang ia rasakan saat melihat ID penelpon itu. Marah, kesal, rasa bersalah, atau apapun itu, Sehun merasa bahwa dirinya tak bisa membedakan lagi.

"Halo." ucap laki-laki itu begitu menggeser tombol hijau pada layarnya dan me-louspeaker nya.

"Sehun..." suara parau seorang gadis yang amat ia kenal. Terdengar jelas meskipun lirih di antara bising deru mobilnya.

"Ada apa? Katakan saja, aku sedang buru-buru." Sehun tahu intonasi ucapannya itu terlalu dingin untuk di dengar. Sehun juga tau bagaimana perasaan gadis di seberang telepon sana saat mendengar suaranya yang dingin itu. Tapi pria itu tetap tak peduli.

"Jangan pergi..."

Satu kata itu membuatnya terpaku. Kecepatan mobil yang ia bawa secara perlahan menurun. Fokusnya hilang sesaat. Dan rasa bersalah kini tampak jelas ia rasakan.

"Kau tahu, bukan? Kau tahu kalau aku sangat mencintaimu, kan? Jadi, aku mohon jangan pergi untuk gadis itu, please?"

Sehun menelan salivanya dengan susah payah. Ia tahu benar apa yang harus ia katakan untuk menjawab kalimat itu. Tapi lidahnya terasa Kelu.

Sekali lagi ia menelan ludahnya. "Maafkan aku." hanya itu yang mampu keluar dari bibir tebalnya untuk mewakili segala penolakan dan rasa bersalah yang ia punya.

Hanya itu yang mampu dia katakan meskipun dia sadar, gadis di seberang sana pernah mengisi sebagian besar hatinya. "Aku harus pergi. Maaf..." lalu ia mengakhiri panggilannya.

Kembali fokus pada jalanan yang ada di depannya. Dan memacu mobilnya dengan kecepatan yang lebih tinggi daripada sebelumnya.

Lima menit kemudian laki-laki itu sudah memasuki area bandara. Ia harus mengangkat kakinya dari pedal gas dengan segera karena kecepatan di area itu hanya 48 km per jam. Ia tak punya waktu untuk di tilang. Setelah memarkirkan mobil. Ia buru-buru keluar dan berlari menuju bangunan terminal. Pria itu tak sempat membawa hoodie atau jaket hangat miliknya, Sehun terlalu terburu-buru untuk pergi.

Yang melekat di tubuhnya kala itu hanya sebuah kaus yang tak cukup tebal untuk membuatnya merasa hangat di musim dingin seperti ini. Dan celana jeans yang panjangnya hanya selutut saja.

Membuatnya harus membungkuk untuk menjaga tubuhnya agar tidak menggigil kedinginan. Barulah sampai di dalam terminal ia kembali merasakan kehangatan ditubuhnya.

Sehun mengedarkan pandangannya ke seluruh bangunan. Dengan kaki panjangnya ia berlari mengelilingi bandara dan mencari sosok yang ia cari. Laki-laki itu tak menyadarinya, bahwa ia bisa saja berlari menuju Counter Check-in Delta terdekat untuk bertanya pada ground crew-nya. Apakah pesawat dengan tujuan Manhattan sudah lepas landas atau belum.

Atau pergi ke bagian pusat informasi untuk meminta mereka memanggilkan seseorang yang dicarinya. Tapi otaknya terlalu penuh untuk memikirkan semua itu.

Sehun hanya tahu bahwa dirinya harus cepat menemukan gadisnya.

"Ayolah, angkat telepon nya!" ia mendesis gelisah. Berdiri di tengah terminal sambil mengamati layar status pesawat.

"Nomor yang Anda tuju, sedang tidak aktif. Cobalah-"

"Argh! Brengsek!"

Dan saat ia menemukan jam pesawat dengan jurusan Manhattan sudah terbang sejak lima menit yang lalu. Seketika itu juga Sehun merasakan tubuhnya yang melemas kehilangan tenaga.

Ia merasa seolah dunianya runtuh detik itu juga.

"Tidak. Aku tidak bisa kehilangan dia." Sehun mengusak kasar air mukanya.

Tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Hatinya terasa hancur saat sadar bahwa ia sudah kehilangan pemilik hati yang sesungguhnya. Sadar bahwa ia takkan mampu melontarkan kata-kata I Love You yang sudah berada di ujung lidahnya. Sehun merasa gagal.

Harusnya tidak begini. Dan semua ini terjadi karena dirinya yang terlalu bodoh.

Laki-laki itu berjalan dengan langkah gontai, keluar dari terminal. Berhenti sejenak di pelataran gedung sembari menatap langit hitam di atasnya. Meratapi nasib dan merutuki kebodohan nya. Tak peduli angin musim dingin yang menyentuh kulit tubuhnya. Bagi Sehun, angin ini tak lebih dingin dan menyakitkan daripada hatinya saat ini.

Laki-laki itu terkekeh. Lebih tepatnya menertawakan diri sendiri. Sekarang dia betul-betul pria tak berguna, hidupnya tidak berguna. Takdir sialan selalu saja membuat dia dan orang disekitarnya menderita.

Bahkan saat dia berjalan untuk menyebrang menuju tempat parkir, takdir masih saja membawanya pada situasi yang lebih kejam.

Ketika melihat kilat cahaya dari lampu depan mobil yang entah berasal dari mana. Sehun pikir, mungkin seperti inilah akhir kehidupannya.

-[to be continue]-

Gatau lah udah berapa versi yg aku tulis. Sayang berkelamat doang di draft. Jadi aku tulis ulang aja dehhh

Inscurity (YoonHun) Where stories live. Discover now